Senin, 02 Desember 2013

0

With Him-Just Dream (drabble)


Sepintas kulirik jam berbentuk persegi berwarna biru tua yang menempel di dinding kamarku. 23:35. Sudah malam dan hampir tiga jam lebih aku duduk di depan komputerku hanya untuk memainkan si kodok ajaib yang bisa mengeluarkan banyak bola warna-warni dari mulutnya. Niatnya hanya sekedar melepas jenuh, tapi rupaya cukup ampuh membuatku lupa waktu.

Aku mendesah pelan saat bola mataku kembali ke arah layar komputerku yang masih menampilkan kata “Game Over”. Payah! Sudah berjam-jam memainkan game Zuma ini, aku belum bisa menyelesaikannya dan stuck di stage 9. Aku memang tidak cukup pandai bermain game. Tapi sudahlah, aku tidak ada niat menyelesaikannya juga. Bukankah tadi aku bilang hanya untuk melepas jenuh saja.

Dan setelah beberapa saat aku tertegun panjang menatapi layar komputerku yang cahayanya cukup membuat mataku perih, aku memilih untuk mematikan komputerku dan beralih mengambil ponselku. Menekan salah satu tombol dan membiarkannya menyala. Ponsel berlayar sempit dengan walpaper laki-laki si pemilik senyuman menawan itu, sama sekali tidak bereaksi. Tidak berbunyi, tidak bergetar. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan.

Si Zuma tampaknya sudah membuatku lupa kalau aku sedang menunggu seseorang.

“Terlalu asyik, ya?”

Entah kepada siapa aku bertanya karena aku tidak berharap ada yang menjawabnya juga. Aku berpindah posisi ke tempat tidurku. Memilih menahan kantuk dengan menatap langit-langit kamarku. Masih menunggu dia yang biasanya tidak pernah absen menemani malamku dengan percakapan-percakapan kecil via-teleponnya selama satu bulan ini. Dan untuk malam ini, sepertinya tidak akan ada.

Aku tetap membiarkan mataku terbuka. Bertahan untuk menunggu laki-laki 30 April itu menguhubungiku. Entahlah... aku hanya merasa saat ini kerinduanku sedang berada di puncak paling tinggi dan aku ingin mendengar suaranya seperti biasa. Ah, aku memang selalu merindukannya. Selalu merindukan semua hal yang ada pada laki-laki yang sudah menyandang gelar kekasihku selama hampir sebulan ini. Aku merindukan semuanya. Mata sipitnya yang selalu meneduhkan hatiku, senyum menawannya yang tak jarang membuatku terpukau, tawa cerianya, suaranya, harum khas spray colonge-nya, sentuhan lembutnya, rengkuhan hangatnya, semuanya.

Dan aku hanya bisa tersenyum kecil dalam diamku. Tak pernah kupercayai. Saat ini, detik ini, aku memiliki dia yang sampai kapan pun tidak akan pernah kubiarkan melangkah menjauh barang seinci pun dari hidupku. Dari duniaku yang penuh dengan biasan warna paling indah setelah kehadirannya. Aku sungguh mencintainya dan aku berjanji akan menjaga semuanya tetap damai, tetap ceria seperti sekarang ini.

Pandanganku meredup. Rasanya aku benar-benar mengantuk. Dan si mungil Sony Ericsson-ku belum mau bereaksi juga. Hampir saja aku game over saat aku mendengar ketukan di balik jendela kamarku. Sedikit tersentak, kuangkat tubuhku dan perlahan membuka tirai berwarna violet yang menutupi jendela.

Bola mataku yang semula sayu, sontak terbuka lebar. Dia yang saat ini begitu kurindukan berdiri tepat di depan jendela kamarku. Tersenyum lebar dan aku buru-buru membuka jendelaku.

“Aku merindukanmu,” katanya saat aku menghapus jarak antara wajahnya dan wajahku yang menyisakan beberapa senti saja.

“Aku juga.” Entah apa yang menuntun tanganku untuk menyentuh wajahnya yang terasa lebih dingin. Sebentar kubiarkan jemariku menyingkirkan poni rambutnya yang menghalangi bola mata yang selalu memabukanku itu. “Kenapa kamu ada di sini?” sambungku bertanya. Kini kubiarkan tanganku membingkai di wajah indahnya.

Ia tersenyum dan aku menahan nafas. Benarkah kalau si pemilik senyuman paling indah itu adalah milikku saat ini? Aku seperti bermimpi.

“Aku sangat merindukanmu,” katanya lagi.

Giliran aku yang tersenyum. “Kenapa kamu gak telepon aku?” tanyaku.

Kurasakan ia menyentuh tanganku. Selalu sama, lembut meski terasa lebih dingin. “Pejamkan matamu dan katakan I Love You,” pintanya.

Aku menaikan salah satu alisku, bingung. Ah, iya... selama ini bahkan aku tidak cukup berani mengatakan ‘I Love You’ tepat di depannya. Entahlah, nyaliku selalu saja menciut tiap kali dekat dengannya. Dan untuk kali ini aku menuruti permintaannya Kupejamkan mataku rapat-rapat. Sebentar kutarik nafasku dan mulai melafalkan kalimat yang ia perintahkan.

“I love you...

...I love you.”

Kurasakan hembusan angin malam menerpa wajahku, kompakan dengan alunan lagu If I die Young yang tiba-tiba menyapa telingaku. Aku segera membuka mataku.

Aneh!

Posisiku tidak sedang berdiri di balik jendela seperti tadi. Tepatnya aku dalam keadaan berbaring. Dan yang kulihat saat aku membuka mata, bukan laki-laki yang sangat kurindukan. Tapi langit-langit putih kamarku. Nada-nada lagu yang berasal dari alarm ponselku menjadi soundtrack kebingunganku. Dan aku baru menyadari satu hal.

Hanya mimpi.

Kuraih ponsel hitam milikku itu dan mematikan alarm yang cukup menyebalkan karena mengganggu mimpi indahku. Bahkan ini pertama kalinya ia hadir dalam mmpiku.

Aku mendesah kecewa sebelum akhirnya aku melihat daftar panggilan tak terjawab darinya. Sebuah pesan juga mampir di inbox-ku. Dan aku tersenyum simpul begitu membaca isi pesan itu.

“Aku juga merindukanmu...

...Dan aku mencintaimu. Sangat mencintaimu!”

Sabtu, 23 November 2013

0

With Him (Drabble)

Aku menarik nafas panjang. Kulipat tanganku di depan dada, menahan dingin yang dengan sangat cerdasnya menelusup pori-pori tubuhku. Rasanya jaket abu-abu biruku tidak berdampak banyak malam ini. Udara kali ini berperan cukup anarkis.

“Dingin, ya?”

Dengan cepat aku menoleh ke arah sumber suara di sebelah kiriku. Laki-laki bermata sipit itu menatapku dengan begitu rinci, membuatku agak salah tingkah. Sekilas mata kami bertemu sampai akhirnya aku alihkan pandanganku ke arah yang berbeda. Langit berwarna kelam dengan dihiasi ribuan kelipan bintang menjadi pilihanku. Rasanya, matanya juga seindah hamparan langit yang kali ini memenuhi titik fokus mataku.

“Emang kamu gak dingin ya?” tanyaku. Masih betah menatap langit malam itu.

“Nggak, selama ada kamu di sisiku.”

Langsung saja aku terkekeh pelan sembari kembali mengalihkan tatapanku ke arahnya. Kali ini dia yang menatap langit. Biarlah, dengan begitu aku bisa menikmati pemandangan Tuhan paling indah di sampingku ini. Tidak kusangka ternyata menatapnya dalam jarak sedekat ini membuatku cukup melanglangbuana. Dia indah. Dia menawan. Dia telah membuatku sadar bahwa aku memang jatuh cinta padanya. Bahwa aku memang sudah kembali terjun bebas menghantam dunia penuh estetika yang telah lama kuhindari.

Aku tertegun panjang. Masih membiarkan manik mataku terpusat padanya.

Sekarang, detik ini, aku benar-benar sedang larut dalam ketidakpercayaan. Aku tidak menyangka bisa jalan-jalan dengan dia di alun-alun kota malam ini dan duduk berdua dengannya, menikmati malam, merasakan dinginnya angin malam dengan percakapan-percakapan kecil yang sesekali membuatku tertawa. Ternyata dia asyik. Aku nyaman bisa dekat dengannya.

Aku menghela nafas. Kali ini kulirik jam tangan biru muda yang melingkar di pergelangan tanganku. Keduan jarum itu sama-sama berhenti di angka sepuluh. Hampir dua jam aku dan dia bersama malam ini. Benar apa kata Albert Einstein : Ketika kita duduk dengan seseorang yang kita cintai selama dua jam, kita merasa itu cuma semenit. Tapi ketika kita duduk di atas perapian, kita merasa itu dua jam. Itulah yang dinamakan hukum relativitas. Aku terkekeh pelan dalam hati mengingat kata-kata itu. betah sekali rasanya duduk berdua dengannya.

Belum semenit aku melupakan pendapat Albert Einstein itu, aku merasakan angin berhembus dengan kencang. Membuat laki-laki dengan potongan rambut fringe itu merengkuh tubuhku. Mataku membulat, cukup terkejut dengan aksinya kali ini. Harum parfum master yang berasal dari kemeja merah kotak-kotak berlengan pendek yang kali ini ia kenakan, sedikit membiusku.

Lagi, kutatap wajahnya. Laki-laki yang dulu hanya bisa aku tatap sekilas setiap sore itu, kini bisa benar-benar dekat denganku, merengkuh tubuhku, membuatku bisa menatap wajahnya dengan sangat lama, membuatku bisa mencium aroma tubuhnya yang sedikitnya memabukanku, juga melihat senyum menawannya. Keinginanku yang terpasung dalam-dalam selama ini akhirnya terwujud juga. Ini yang kuingin. Bersamanya.

“Pulang yuk!” ajaknya.

Aku mengangguk. Sudah pukul sepuluh pas.

“Hei! Kita ini apa sebenarnya?” tanyaku saat kami berjalan melewati beberapa orang yang masih asyik saja menikmati suasana alun-alun kota. Tak banyak yang memperhatikan kami, sehingga tangan yang ditemani jam hitam polos yang masih parkir di bahuku itu tidak begitu membuatku risih.

“Menurutmu apa?” Bukan menjawab pertanyaanku, ia justru balik tanya. Membuatku mengernyit singkat.

“Haha... entahlah, tapi aku rasa aku mencintaimu.”

Ia hanya tertawa pelan mendengar jawabanku.

Sabtu, 31 Agustus 2013

2

Simple Desire (Cerpen)



Hanya ada satu hal yang aku inginkan di dunia ini. Satu hal saja sebelum Tuhan dengan otoritas tak terbantahkannya menutup buku hidup, cerita hidupku. Satu hal―
―tidak muluk. Tidak sulit.

Aku tidak perlu akhir bahagia seperti pangeran yang menemukan Cinderella-nya. Bukan, bukan itu yang aku mau. Bukan kisah happy ending seperti itu.

Tapi, bukan juga kisahku harus berakhir seperti Romeo dan Juliet. Yah, mungkin itu terlalu dramatis. Sad ending yang sungguh dramatis. Aku tidak pernah menginginkan akhir seperti itu juga. Karena yang aku mau, hanya―

Satu hal sederhana.

*

"Sampai kapan kamu kayak gini, Alvin? Kamu pikir, dia itu bisa baca pikiran orang apa? Dia gak bakal tahu kalo kamu gak kasih tahu."

Mari kita hitung! Mungkin ini yang ke 123 kalinya kata-kata itu terlontar dari bibir tipis sahabatku, Gaza. Si autis tampan, playboy cap kayu manis impor dari Belanda yang saat ini terlihat sibuk ngotak-ngatik ponselnya.

"Nunggu waktu yang tepat, Za," tuturku simple. Kuubah sedikit posisi dudukku agak menghadap kiri. Tujuanku satu, bisa melihat dia yang saat ini tengah asyik menikmati mie baksonya bersama kedua temannya.
"Waktu yang tepat kapan? Nunggu kamu sekarat, gitu? Biar bisa kayak di drama-drama Korea itu, ya?

Sejak kapan kamu jadi sok dramatis gitu?"

Heh!

Aku menoleh dengan cepat ke arah Gaza. Sedikit menyeringai kesal. "Iya, aku tahu aku mau mati. Tapi bukan maksudku mau buat drama juga. Emangnya aku itu kamu, apa? Pembual kelas atas. Penggombal pangkat tinggi," tukasku sadis.

Gaza acuh saja seolah apa yang aku paparkan tidak menyakitinya sedikit pun. Ya, wajah tampannya memang paling bisa masangin wajah tanpa dosa. Kali ini dia sibuk menatap ke arah meja dia-yang-selalu-aku-puja dengan sangat serius.

"Kita bertaruh!"

Iris cokelat tua Gaza tiba-tiba terarah padaku. Menantang.

"Bertaruh apa?" tanyaku. Kubiarkan mata sipitku beradu dengan mata besar nan indah milik laki-laki pemilik nama kota yang terjajah itu.

"Siapa yang paling bisa, dia yang menang!" Gaza menyeringai. Dia kembali menatap gadis-gadis yang sedang asyik tertawa karena obrolan-orolan ringan mereka.

"Maksud kamu?"

"Aku mau dapetin cewek itu juga. Kita bersaing si―"

"Maksud kamu siapa? Cewek yang mana?"

"Siapa lagi? Fia dong! Pujaan hatimu." Gaza menatapku lagi. Mata polosnya yang selalu berhasil memikat cewek-cewek itu menusukku tajam. Membuat dadaku terasa―sesak sekali!

"Maksud kamu apa, sih?" kecamku semakin tidak mengerti. Dia menginginkan Fia juga? Lalu, dia mengajakku bertaruh untuk mendapatkan Fia? Kejam sekali!

"Aku gak maksud nusuk kamu dari belakang, Al. Cuma, aku penasaran aja sama cewek itu. Kenapa kamu bisa sebegitu cinta matinya sama dia. Dan aku rasa dia manis."

"You're crazy, you know it?!" emosiku tersulut.

"Ya, sekarang sih aku kasih pilihan. Bergerak cepat atau dia keburu jadi milikku!"

Dasar penjahat! Mana boleh begitu?

"Deal?" Gaza mengulurkan tangannya. Senyumnya menyembunyikan banyak arti.

Aku masih diam mematung. Suasana kantin yang ramai terasa senyap. Aku masih tidak mempercayai apa yang baru saja sampai ke telingaku. Rasanya―

Ada yang mencengkram kuat jantungku.

Fia itu gadis yang aku kagumi, mungkin aku cintai selama enam tahun ini. Dia manis, cantik, pintar, baik dan sekarang Gaza―orang yang sudah kuanggap sahabat bahkan keluargaku―baru saja mengatakan ingin mendapatkan Fia juga?

Aku rasa dia memang autis sungguhan! Dia gila! Sahabat macam apa, dia itu?

"Setuju gak setuju, aku tetap bakalan berusaha dapetin dia."

Licik!

"Aku tidak faham," geramku.

"Jangan pura-pura dungu, Alvin! Jangan memalukan nama baik sekolah hanya karena siswa paling pintarnya tidak mengerti hal kayak ginian!"

Aku menarik nafas dalam-dalam. Ucapan Gaza sedikit menyinggung perasaanku. Dia fikir, otakku ini dipenuhi taktik-taktik untuk mendapatkan cewek apa? Bukankah dari tampang saja sudah membuktikan aku bukan tipe cowok playboy kayak dia?

"Intinya, kamu harus bergerak cepat sebelum dia jatuh dalam dekapanku. Yang paling bisa, yang menang," ujarnya mengulang kembali kata-katanya. Ia tarsenyum sinis tapi aku menangkap makna penuh arti dalam senyuman itu. Dan aku tidak bisa menerawang apa maksud dibaliknya. Aku mulai menyayangkan, kenapa aku tidak lahir dengan memiliki sixth sense.
 
*

Ini memang faktanya.

Aku terlahir dalam keadaan menyedihkan.

Seperti ulat yang bermetamorfosa menjadi kupu-kupu cantik tanpa sayap. Cacat. Tak bisa terbang. Hei, pernahkah kau melihat kupu-kupu tanpa sayap? Well, tak perlu dipedulikan karena itu hanya ada dalam imajinasiku. Dan yang harus dipedulikan saat ini adalah aku.

Ya, aku!

Bukan! Tepatnya rasa sakitku―

Rasa sakit yang kali ini menjajah bagian dadaku tanpa ampun, hingga untuk satu jam terakhir ini ringisan beserta erangan berhasil lolos dari mulutku.

Aku bergelut sendiri dengan sakit ini. Bergulung dengan bed-cover berwarna merah cerah dengan lambang Manchester United―tim sepak bola yang kuandalkan―yang agak basah karena keringat dingin yang terus mendesak keluar dari tiap pori tubuhku. Rasanya nyeri sekali. Sesak menohok paru-paruku dengan ekstrim, hingga aku yang semula membenamkan wajahku di balik bantal―percayalah! Yang kulakukan itu semata-mata karena aku tidak ingin ada orang yang melihat paras burukku ketika mengerang seperti ini, termasuk malaikat perampas nyawa sekali pun―segera mengangkat wajahku. Mulutku terbuka, sibuk mencari oksigen.

Sialan! Penyakit sialan!

Kenapa ia tega sekali hinggap di tubuhku ini. Melahap habis semua kesempurnaan yang kumiliki. Kaya, tampan, pintar, populer, banyak teman, dimanja Mama sama Papa, dibanggakan semua guru dan bahkan dianugerahkan rasa cinta oleh Tuhan pun rasanya teramat sia-sia karena penyakit ini.

Aku hidup menjadi seorang fatalis sejati semenjak aku dijatuhkan vonis hukum merasakan sakit ini sejak 5 tahun yang lalu. Dan termasuk untuk cerita cintaku.

Bukankah sudah lebih dari dua minggu ini aku pasrah dengan sakitku yang bertambah menjadi dua. Sakit karena penyakit yang bersarang dalam tubuhku, dan sakit karena aku hanya bisa pasrah saja ketika si autis Gaza dengan tanpa hati merebut Fia-ku. Dan bodohnya, kenapa Fia bisa dengan mudahnya melahap rayuan penuh racun laki-laki―aku katakan lagi―playboy cap kayu manis impor dari Belanda itu. Ah, iya...

Jawabannya tentu karena Gaza keren! Karena Gaza sempurna! Yang lebih penting, karena Gaza punya keberanian. Tapi aku masih tidak faham―

Akh, sudahlah apa pun alasan laki-laki pindahan dari Amsterdam itu, aku bersumpah demi apa pun yang ada di bumi ini, jika aku sembuh nanti aku akan―

uhuk!!

"Ya, Tuhan..." tamatlah cerita hidupku.

Aku menatap lekat-lekat bercak merah pekat, kental, amis yang kini mewarnai telapak tanganku. Dia meronta keluar saat batuk yang cukup menyakitkan itu menyerangku.

"S-sakit!" keluhku ketika lagi, lagi dan lagi batuk disertai keluarnya darah itu menjarahku tanpa belas kasihan.

Aku meremas dadaku kuat-kuat. Tapi aku yakin ada yang meremas jantung dan paru-paruku lebih kuat dari remasanku, hingga rasanya sesak, nyeri dan―

lebih baik aku mati!

"Sore, Alvin..."

"Sore, Al..."

Aku rasa, aku menangkap dua suara. Yang pertama, aku kenal suara bariton itu. siapa lagi kalau bukan Gaza. Dan suara kedua, lembut, indah dan sedikit banyaknya telah mengusik hatiku. Aku terperangah begitu sadar siapa pemilik suara itu.

Fia!

Alfia!

"Alvin!" Gaza memekik keras setelah sebelumnya ia berjalan menghampiriku.

Ya, wajarlah ia seperti itu. Mungkin noda darah tidak akan begitu terlihat di seprai merahku. Tapi, kaus putihku? Baiklah, kali ini aku tidak bisa mengelak seperti hari-hari sebelumnya.

Kulihat wajah Gaza pucat pasi karena panik. Dan Fia, tidak beda jauh dengan Gaza. Kurasakan tangan Gaza merengkuh tubuhku. Dan tangan Fia, untuk pertama kalinya terasa hangat dan halus menyentuh wajahku.

"Kita harus ke rumah sakit, Za!" ada getaran di balik suara Fia. Ia terlihat khawatir dan aku sudah tidak punya kekuatan lagi.

Yang terakhir kulihat adalah wajah manis gadis itu. Setelah itu lubang hitam menarik kesadaranku. Aku tidak ingat apa-apa lagi.

Payah sekali diriku! Bahkan di depan orang yang begitu aku cintai. Tapi untuk pertama kalinya aku merasa begitu bahagia.

Terimakasih, Fia!

*

"Jadi, semua ini ulah si autis Gaza?"

Fia mengangguk samar.

Aku palingkan wajahku pada Gaza yang tampak menyeringai penuh kemenangan di sofa, agak jauh dari tempatku berbaring. sensasi bau khas rumah sakit masih terasa saja meski kali ini aku bernafas dengan alat bantu pernafasan. Entah siapa yang lagi-lagi membawaku ke tempat ini.

"Jika tidak begitu, aku tidak yakin kamu akan mengizinkanku mendekati Fia untuk bilang semua tentangmu padanya." Gaza berjalan mendekat ke arahku setelah sebelumnya menyimpan majalah yang dibacanya di sembarang tempat. Iseng saja dia menyentil keningku. Sakit bodoh!

Aku mendesis kesal. Dan Fia tertawa kecil. Ah, dia selalu manis dalam ekspresi bagaimana pun.
Fia, Fia... aku sangat mencintaimu.

Sebenarnya, aku ingin bicara panjang lebar dengan Fia. Tapi apa daya, suaraku tercekat di tenggorokanku. Jangankan, untuk bicara, untuk mengumpulkan oksigen dan menghirupnya saja paru-paruku sudah lupa caranya.

Dan aku hanya bisa menatapnya saja. Tatapan kami beradu. Semoga kau bisa membaca bahasa mataku, Fia.

Aku mencintaimu.

Sangat mencintaimu, Fia.

Kulihat Fia tersenyum. Dan dengan lembut ia menggenggam erat tanganku yang bebas jarum infus.
"Hal yang paling membahagiakan dalam hidupku adalah aku tahu kamu mencintaiku, Al."

Rasanya, saat ini aku juga bahagia. Karena hal yang paling aku inginkan adalah ini. Kamu tahu aku mencintaimu. Dan kamu bilang kamu bahagia. Terimakasih, Fia. Terimakasih, Gaza. Maaf juga aku sudah memenuhi hatiku dengan berburuk sangka padamu. Itu salahmu sendiri tidak memberitahu dari awal!
Dan sekarang, tidak ada alasan lagi untuk aku tetap tinggal. Semuanya sudah selelsai, kemauanku selama ini sudah tercapai. Sekarang apa lagi―

Selain tersenyum, menutup mata dan memenuhi seruan Ilahi untuk pulang padaNya.

END

Jumat, 30 Agustus 2013

0

LAST (Drabble)


-o0o-

“Biarkan semuanya berakhir―”

“Ta-tapi ke-kenapa? Bukannya kau sudah memaafkan kesalahanku tempo hari?”

Suaraku lenyap, terbang bersama siulan angin sore itu. Nyaris tercekat. Ada yang menyumbat tenggorokan dan paru-paruku hingga rasanya aku seperti kehilangan oksigen. Rasa sesak dengan cerdasnya menyerangku saat suara bass itu mampir di telingaku.

“Apa salahku?”

Pemuda berpupil cokelat itu menatapku sekilas sebelum akhirnya membiarkan mata yang paling aku sukai darinya itu berotasi mengelilingi keadaan di sekitar kami. Taman kota.

Dan janganlah menggerakan matamu seperti itu. Tolonglah! Itu membuatku semakin takut kehilanganmu.

“Karena aku tidak pernah mampu membuatmu bahagia.” Ia menjawab pertanyaanku dalam menit kelima setelah aku melontarkan soal yang mungkin―baginya―lebih sulit dari soal fisika. Jawabannya tidak sesuai pertanyaanku.

“Tapi memilikimu adalah kebahagiaan untukku.”

Kali ini suaraku lindap dihisap deru nafasku yang kian cepat. Air mata menggenang sempurna di pelupuk mataku.
Apa sungguh alasan itu yang membuatmu dengan entengnya membentangkan garis merah dalam hubungan yang baru berjalan hampir setengah tahun ini, dan di saat aku benar-benar sedang mencintaimu dan merindukanmu? Sungguhkah hanya itu? Bukan karena aku terlalu egois dan menuntutmu? Atau karena kau mulai berpaling hati pada gadis lain? Jika memang karena itu―karena kau tidak bisa membuatku bahagia―sungguh itu adalah alasan terindah yang pernah mampir di telingaku.

“Aku bukan laki-laki yang baik untukmu.” Laki-laki berkulit putih bersih itu membiarkan bola matanya berhenti kali ini. Ia tak lagi menyapu keadaan sekitar. Ujung-ujung sepatu kets putihnya, menjadi pilihan terakhir titik fokus matanya.“Aku tak bisa jadi seperti yang kau mau,” sambungnya.


“Tapi aku sangat mencintaimu. Aku sangat menyayangimu.”

Kamu memang menyebalkan. Jujur kuakui, kamu memang mengesalkan. Kamu sering mengacuhkanku. Kamu tidak pernah peduli padaku. Kamu tidak pernah memberikan perhatian padaku dan kamu sering membuatku ilfeel dengan sikap kekanak-kanakanmu itu. Tapi, sungguh aku terlanjur mencintaimu, dan itu dengan sangat!

“Tapi maaf, aku benar-benar sudah lelah menjalani hubungan ini.”

Perfect!

Air mata yang kubendung seapik mungkin dengan ketegaran buatan itu akhirnya membludak juga saat selangkah saja laki-laki yang selalu harum casablanca itu berjalan menjauhiku.Kurasakan cairan hangat itu menjamah pipiku. Rasa asin karena butiran bening itu menyentuh bibiku yang bergetar, tersuspensi dengan rasa pahit yang meraba bagian hatiku. Kepiluan melukiskan diri dalam palung jiwaku.

“KENAPA?

“Apa salahku?

“Katakan padaku!!

“Tidak bisakah kau memberiku kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahanku, seperti saat aku memberi kesempatan itu padamu ketika kamu mengkhianati cintaku. Ketika kau menduakan cintaku?”

Aku tertegun. Lama. Ingin rasanya saat itu juga aku menghilang. Aku seperti bermimpi. Cinta tulusku kini terombang-ambing tanpa pemilik. Harapanku redup. Impianku hancur. Dan punggung tegak itu, punggung orang yang begitu kusayangi perlahan menjauh meninggalkanku.

Andai saja ada izin Tuhan, ingin kupeluk pemuda berbaju merah cerah yang selalu wangi itu dan melarangnya jangan pergi, karena aku terlampau mencintainya.

FIN

*

Kamis, 20 Juni 2013

0

LOMBA MENULIS PUISI "MERINDU RAMADAN"

Setelah sukses menyelenggarakan lomba menulis PUISI dan PROSA LIRIS "UCAP" pada bulan April 2013 sampai dengan bulan Mei 2013--kami--Penerbit Meta Kata bermaksud kembali menyelenggarakan lomba menulis PUISI. Tentunya dengan tema yang lebih SEGAR dan lebih MENANTANG. Baiklah, berikut persyaratan lengkap bagi kawan-kawan yang hendak ikut berpartisipasi sebagai peserta:
  1. Lomba terbuka untuk umum.
  2. Membagikan info lomba ini ke minimal 11 teman di jejaring sosial facebook, twitter, atau posting di blog pribadi (pilih salah satu).
  3. Like FansPage "Penerbit Meta Kata" (http://www.facebook.com/PenerbitMetaKata)
  4. Tema: MERINDU RAMADHAN
  5. Naskah dalam bentuk PUISI, maksimal 3 bait/11 baris (termasuk judul), dengan format file Ms Word 2003/2007, kertas ukuran A4, font TNR 12pt, spasi 1.5, margin rata-rata 3 cm untuk setiap sisi. 
  6. Naskah merupakan karya asli penulis dan belum pernah dipublikasikan dalam bentuk buku. 
  7. Setiap peserta hanya diperbolehkan mengirim 1 naskah terbaiknya, lengkap dengan biodata narasi, maksimal 30 kata (nama, akun facebook, dan alamat email). 
  8. Naskah yang telah memenuhi persyaratan di atas, dikirim ke email: redaksi.metakata@gmail.com (berupa lampiran, bukan di badan email), dengan subyek email: MR_JUDUL NASKAH_NAMA PENULIS dan NAMA FILE disesuaikan dengan NAMA PENULIS.
  9. Pengiriman naskah dibuka mulai tanggal 12 Juni 2013 s.d 23 Juni 2013 pukul 11:00 WIB (hanya 11 hari)
  10. Hasil lomba akan diumumkan pada tanggal 26 Juni 2013 di blog resmi Penerbit Meta Kata
  11. 89 naskah terpilih akan dibukukan dalam bentuk Antologi Puisi dan masing-masing Penyair mendapat diskon 20% dalam pembelian buku terbit + diskon 20% dalam pembelian buku-buku terbitan Meta Kata dan 11 Penyair dengan naskah terbaik akan mendapatkan hadiah tambahan berikut. 
  • Terbaik I: Paket Buku + Voucher Penerbitan Senilai Rp 150.000 + E-Sertifikat
  • Terbaik II: Paket E-Book + Voucher Penerbitan Senilai Rp 150.000 + E-Sertifikat
  • Terbaik III: Paket E-Book + Voucher Penerbitan Senilai Rp 100.000 + E-Sertifikat
  • Terbaik IV: Paket E-Book + Voucer Penerbitan Senilai Rp 75.000 + E-Sertifikat 
  • Terbaik V: Paket E-Book + Voucer Penerbitan Senilai Rp 50.000 + E-Sertifikat
  • Terbaik VI: Paket E-book + E-Sertifikat
  • Terbaik VII: Paket E-book + E-Sertifikat
  • Terbaik VIII: Paket E-book + E-Sertifikat
  • Terbaik IX: Paket E-book + E-Sertifikat 
  • Terbaik X: Paket E-book + E-Sertifikat 
  • Terbaik XI: Paket E-book + E-sertifikat
  • Hadiah dalam bentuk voucer penerbitan, tidak dapat diuangkan atau digabung dengan voucer penerbitan lainnya dan hanya berlaku untuk paket penerbitan #PERSEORANGAN Rp 500.00 di Penerbit Meta Kata
Demikian pengumuman lomba PUISI terbaru kami. Selamat berkarya melalui goresan pena!!!

Malang, 11 Juni 2013
a.n 
Pimpinan Tim Kreatif Penerbit Meta Kata

Senin, 07 Januari 2013

0

Kisah Usang Yang Selalu Abadi



Pergilah resah... pergilah gundah...

Waktu yang berjalan telah membawaku menyusuri lembar demi lembar kisah ini. Kisah biasa yang mungkin banyak terskenario di chanel-chanel televisi, atau tergores oleh tinta-tinta penulis novel. Biarlah, aku tidak peduli mirip cerita sinetron yang mana kisahku ini. Yang aku tahu, meski aku cukup mahir mendramatisir keadaan, masalah hatiku tak sedikit pun kudramatisir. Karena aku tahu aku tidak sedang belajar sastra saat ini.

Aku tidak tahu. Apa aku kembali ke masa lalu atau kembali menyambut masa lalu itu. Kenangan yang pernah kutanam, tumbuh kembali, terpupuk sehat dan mengakar lebih kuat. Membuatku lagi-lagi merasakan bagaimana sesaknya dia yang dinamakan rindu. Atau mungkin dua kali lipat lebih sesak. Tapi tak bisa kupungkiri kalau kenangan itu juga sukses membuat aku tersenyum dan tertawa seperti orang yang posisi otaknya agak bergeser sedikit. Ahh ....

Yang  kuingat tentang dirimu, tentu namamu. Namamu yang unik, panggilanmu yang asing dan ejekanmu yang selalu membuatku tertawa. Tapi yang paling aku ingat tentu senyuman manismu. Senyuman dari bibir yang selalu tampak merah seperti dioleskan lipstik itu. Ish, betapa aku merindukan sosok kamu. Kamu yang menurut aku sangat sempurna. Kamu yang membuat aku seperti memiliki sayap saat pertama kali melihatmu di balik gerbang sekolah tetanggaku waktu zaman SD dulu.

Percaya atau tidak, kamu memang ahlinya membuat keterpanaan.Paling tidak di mataku. Semua tentangmu selalu membuatku seperti terseret ombak paling lembut, terombang-ambing di tengah laut keindahan. Yang kulihat hanya indah, indah dan indah. Yang kusuka tentu gayamu yang selalu tampil rapi. Cara kamu berpakaian, caramu berjalan, caramu menulis, caramu duduk. Ahh, tapi yang paling kusuka tentu saat kau mengenakan pakaian kompeni Belanda itu. Si Biru yang selalu membuatmu terlihat gagah. Kau berbaris dengan pasukan Marching Band yang congkak-congkak itu. Haha...

Aku bersyukur pernah mengenalmu, menuai sebuah ikatan pertemanan denganmu meski tidak abadi.
Ya, itu hal pertama yang mestinya harus kusyukuri. Karena merangkai cerita yang mungkin terlampau biasa untuk dirimu, namun sangat maha indah untuk diriku itu adalah karunia Tuhan yang telah  dijatahkan atas diriku. Terimakasih kau mau menuangkan sedikit tintamu ke dalam lembaran kisah hidupku. Itu akan menjadi goresan tinta paling indah dan paling kekal yang tidak akan pernah terhapus dalam kertas hatiku.

Kamu tahu gak? Kenal dengan dirimu itu memang syukurku yang paling utama. Tapi ada yang harus lebih kusyukuri lagi. Yaitu aku mencintaimu dan mampu bertahan hingga sampai sekarang ini.Yang aku tahu, menjaga rasa ini tidaklah semudah satu tambah satu. Tidak segampang membaca alif, ba, ta, tsa. Karena terkadang aku merasakan nyeri hingga rasanya ingin menyerah dan mencari cara untuk melupakanmu atau bahkan membencimu. Tapi juga tidak sesulit menghafalkan rumus matematika, fisika dan kimia. Tidak serumit belajar nahwu dan shorof. Karena aku tahu kalau perjuanganku yang didasari dengan ketulusan ini lebih kuat dan hebat untuk mengalahkan rasa nyeri itu. Hahh, kau tidak pernah tahu ada gadis sesuper aku yang begitu mencintaimu. Harusnya kau bangga dicintai hingga segila ini.

Kau jauh... entah berapa ribu kilo meter jarak yang memisahkan aku dan dirimu...

Dalam ketidakwarasan, aku selalu berandai kencang. Andai aku bisa seperti Hermione Ganger yang memiliki Jam pembalik Waktu, sehingga aku bisa kembali ke masa lalu. Memperbaiki segala kesalahan yang pernah aku perbuat sehingga kamu tidak menjauh seperti ini. Seperti sekarang ini. Tapi bahkan aku tidak pernah ingat apa salahku padamu. Mungkin memory otakku masih ukuran kilo byte sehingga untuk mengingat itu saja rasanya sulit. Karena tentu yang kuingat dan kusimpan dalam memory otakku yang kapasitasnya kecil ini hanya kata AKU MENCINTAIMU.

Aku tidak ingat sejak kapan kamu menjauhiku. Tapi saat aku sadar, rasanya sangat menyakitkan. Menyakitkan sekali! Aku ingat, saat lebaran tahun kemaren, saat aku bertemu denganmu, kamu hanya tersenyum saja. Dan bibirmu tidak semerah dulu saat kita masih berteman baik. Tak ada basa-basi seolah kita tidak pernah kenal dekat. Padahal dulu kamu yang paling rajin loh, nyontek PR matematikaku, kamu yang paling semangat  nawarin jawaban tugas Bahasa Inggrisku sama teman-temanmu sampai bukuku lecet ditarik ke sana-ke mari, kamu yang paling sering duduk di mejaku sambil nyanyi-nyanyi. Ya Tuhan, bahkan aku masih ingat lagu apa saja yang selalu kamu nyanyikan saat itu.

Aku juga pernah rasain yang lebih sakit. Sakit seperti ditikam pisau saat tahu sahabatku berhubuhangan denganmu. Ah, aku lupa kalau sahabatku memang yang selalu paling unggul dariku. Jadi wajar saja kamu mencintainya. Tapi sudahlah, aku tidak terlalu mempermasalahkan itu. Meski mendapat kabar kamu yang sudah sejak SD aku cintai, berhubungan dengannya itu adalah hal yang menyakitkan hati seumur hidupku. Tapi tentu dijauhi dan dimusuhi tanpa alasan adalah hal yang membuatku lebih rapuh.

Kenapa ya kamu seperti itu kepadaku? Tentu hanya kamu dan Tuhan yang tahu...

Mencintaimu memang membuatku tumbuh menjadi sosok yang kuat, yang sabar, yang ikhlash dan tentu tulus. Aku kuat saat kamu jauhi aku, aku sabar saat kamu terang-terangan ganti nomor handphone hanya karena aku tahu nomormu, aku ikhlash saat kamu memilih mengisi hati sahabatku ketimbang hatiku, dan aku tulus mencintaimu sampai sekarang meski perih ini terasa ngilu hingga hatiku yang paling dalam. Karena aku tahu Tuhan telah membuat hatiku seteguh ini untuk mencintaimu Tuhan telah menciptakan hati paling kokoh yang mampu bertahan hingga selama ini, untuk menyimpan aman namamu.

Aku tidak pernah peduli kamu seperti apa padaku, kamu seperti apa di mata orang lain, aku tidak pernah peduli bukan karena cinta telah membutakan mata hatiku. Tapi karena cinta sudah membuka mata ini lebar-lebar agar aku bisa melihat kamu dari berbagai sisi. Melihat segala kurangmu hingga jika (lagi-lagi berandai) suatu saat nanti kamu menjadi milikku, aku yang akan menambal segala kekuranganmu dengan kelebihanku yang hanya sedikit ini.

Heii, kamu yang saat ini jauh di sana. Kamu yang saat ini entah sedang apa. Bisakah kamu mendengarkanku? Mendengar aku yang terlalu pengecut ini untuk bercerita banyak hal. Bercerita tentang seorang gadis yang dulu selalu intipin kamu latihan pramuka tiap hari sabtu. Seorang gadis yang pura-pura pergi ke koperasi madrasah hanya untuk lihatin kamu main bola sepulang mengaji. Seorang gadis yang yang diam-diam suka ikut meringis saat kamu dapat hukuman.  Dia yang selalu rajin nyiptain rangkaian puisi buatmu. Dia yang tanpa ada yang tahu, menyimpan banyak foto kamu di bawah kolong ranjangnya. Dia yang saat ini begitu merindukanmu. Dia yang selalu pura-pura tegar dan kuat menyimpan rasa menyiksa itu. Dia gadis bernama Aku. Aku yang sangat mencintaimu.

Aku selalu berharap kamu  cepat kembali. Bukan untuk tersenyum kepadaku karena bibirmu tampaknya sudah kehilangan gincu merah itu. Tapi untuk sedetik saja aku tatap hingga rindu ini cukup terobati.

Biar aku menjaga hati ini.Perasaan ini. Hingga Tuhan mengambilnya dengan membiarkanku mati rasa.

Ana Uhibbuka.... Abadan...

Total Tayangan Halaman

Yuukk follow me!

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto Saya
Nae
bandung, jawa barat, Indonesia
Lihat profil lengkapku

i crazy with this song