Kamis, 14 Juli 2011

0

Entah Apa

My Bro and My Sis..

Liat mereka yu...
hhe.. cekiidoott...!!!


ihhh..
menggemaskan dehh.. menguras emosi dan air mata...(?)
unyu...unyu,,,unyu...



 

Minggu, 03 Juli 2011

0

Mawaddi


Aku bahagia Tuhan!

Bahagia pernah berada di sisi mereka selama tiga tahun ini...

Aku mohon kabulkan permintaanku yang satu ini....

Aku ingin ia tetap berdiri kokoh di tengah hamparan hijau yang menyejukan bersama orang-orang yang menyayanginya.

Terimakasih Tuhan..

kau berikan kesempatan untukku merasakan kehangantan di dalamnya....
0

Ketika Kemarin Menjauh



Apa rasa ini salah? Apa aku berdosa merasakannya? Bahkan aku sendiri tidak tahu apa rasa ini murni dari sang pencipta atau hanya dorongan nafsu belaka?


***
Berawal di pagi hari….
Kupandangi rintikan air hujan yang membasahi komplek Madrasah Aliyyah Baitussalam dari balik kaca jendela kelasku. Kelas XI IPA, kelas yang baru kutempati dua minggu ini setelah satu tahun aku tinggal bersama santri-santri pondok pesantren Baitussalam.
Rupanya pagi ini sangat-sangat membosankan. Semua siswa tidak bisa berkeliaran di luar karena hujan cukup deras dan udara yang membuat tubuh sulit untuk bergerak.
“Fia..! Alfia..!”
Panggilan seseorang mengalihkan pandanganku.
Aku tersenyum begitu melihat sesosok Azmi, teman sekamarku berdiri di samping mejaku. “Ada apa Az?” tanyaku.
Azmi duduk disampingku “Bentar lagi Maulid Nabi lho fi. Kata bu Mudzabbirah anak-anak kamar 2 harus buat kreasi..” Katanya memberi tahu.
Aku diam sejenak. Membayangkan kak Nisa, Mudzabbirah (pemimpin) asrama puteri yang cerewetnya minta ampun “Hmm..  tanyakan deh sama yang lain dulu Az..! lagiankan kamar 2 bukan hanya kta berdua masih ada lima orang  lainnya.”
“Mereka udah nyerahin ini semua sama kita”
Aku langsung diam. Selalu begini..! saling mengandalkan dan tidk mau bekerjasama. Kamar 2 yang memang terdiri dari tujuh orang itu, terdiri dari empat anak kelas X dan sisanya kelas XI jadi tidak aneh jika anak-anak kelas X mengandalkan kelas XI.
“Gimana Fi?”
Aku mengangguk. “Iya..”
Dan aku mulai memfokuskan pandanganku keluar kembali. Tapi tunggu…! Kenapa tiba-tiba saja aku merasa bagai terjun dari menara Eiffle saat aku melihat seorang santri putera di balik rintikan hujan yang mereda..
Rifki Maulana Ishaq. Iya, dia. Seorang santri putera yang selama satu tahun ini menggangguku, mengusikku dan terkadang menentramkanku saat aku mengingatnnya.
Seorang putera dari Kyai Mukhlish Ishaq, pemilik  Baitussalam yang mendapat julukan si suara emas karena ia memiliki suara yang selalu berhasil membuat orang-orang terlena dibuatnya saat aksinya bersama anak-anak hadroh lainnya.
          Aku terus melihatnya. Meski cukup jauh, aku bisa melihat dengan jelas raut wajah tampannya, dan tiba-tiba saja sudut-sudut bibirku tertarik kesamping begitu melihat sebaris senyuman di bibir tipis Rifki yang ia lontarkan kepadaku.
          Aku alihkan pandanganku kedepan kelas dan melihat anak-anak yang tetap ayik dengan kegiatan masing-masing. Aku bahagia ya Allah…! Benarkah dia hamba yang Engkau berikan atasnya senyuman yang membuatku seperti ini? Rifki oh Rifki… kenapa kau buatku seperti ini?
***
‘baiklah itu bukan senyum pertamanya untukku, Rabb! Itu juga bukan senyuman khusus yang ia ciptakan untukku. Tapi aku tetap merasa semuanya berbeda. Aku selalu bahagia dengan semua itu, dengan tatapan itu, raut wajah itu, suara itu, dan semua yang ada dalam dirinya. Termasuk senyuman itu. Wahai Rabb yang maha memberi cinta..! Semoga rasa ini benar-benar kau berikan sebagai  anugerah-Mu kepadaku.’
          Aku mulai menutup buku harian ungu-violetku seusai memengakui satu rahasiaku kepada Allah tentang perasaanku kepada sesosok Rifki yang memang aku sembunyikan dari semua orang dan hanya aku dan Dia yang tahu ini.
          “Alfia…!” Panggil Fatmah membukakan pintu kamar.
          Aku menoleh dan sudah melihat Fatmah dan Azmi yang sepertinya sudah siap pergi ke Madrasah untuk mengaji.
          “Cepetan yuk ahh…! Sekarang pelajaran ustadz Malik lho Fi…” Ujar Azmi yang langsung mengingtkanku pada sesosok ustadz Malik yakni paman Rifki yang galaknya naudzubillah..
          Aku mengangguk dan segera mengambil kitab kailani di lemariku kemudian bergegas menuju madrasah.
          Aku masih selamat karena rupanya ustadz Malik belum duduk di kursi kehormatannya begitu aku masuk kelas. Dan aku memilih memikirkan kreasi apa yang akan ditampilkan di acara Maulid Nabi yang akan diselenggarakan satu bulan lagi di komplek Madrasah Aliyyah itu.
          Tapi, entah kenapa bayangan sesosok Rifki tiba-tiba saja menghambat jalan fkiranku untuk mencari dimana ide yang bagus. Dan bahkan ini sangat membosankan..! sama sekali tak kutemukan.. Bukan! Bukan ide itu. Tapi, Rifki karena tak mungkin aku menemukannya di asrama puteri. Pelajaran  madrasah yang membosankan. Bahkan aku lebih menyukai pelajaran- pelajaran sekolah. Aku lebih semangat melangkahkan kaki ke komplek Madrasah Aliyyah dubandingkan harus berjalan ke Madrasah dan mempelajari kitab-kitab kuning.
          Baiklah ini sudah tidak wajar! Bahkan aku menganggap ini sudah gila.. apa iya aku mencintai Rifki atas anugerah-Nya? Kadang aku ingin berlari menjauhi penjara suci ini, melabrak semua hukum islam. Tapi, kukatakan kepadamu kawan, aku masih waras dan tidak akan melakukan hal bodoh seperti kebanyakan remaja-remaja lain yang mengorbankan segala sesuatunya untuk rasa yang mereka anggap itu anugerah Tuhan dengan tanpa mempedulikan positif ataupun negatifnya.
Aku masih berharap rasa cinta ini benar-benat dari Allah. Aku hanya ingin cinta ini sungguh-sungguh diridhai sang khalik. Dan semoga cinta ini membuatku lebih mencintai-Nya meski Rifki yang harus menjadi pelantara untuk tu.
          “Alfia…!!!”
          Aku mengangkat kepalaku dan sudah menemukan ustadz Malik dihadapanku
          “Lihat hkitabmu…!! Mana harkat-harkatnya?” Perintahnya yang langsung membuat mataku terfokus pada kailaniku yang belum aku logat.
          “Aku ketinggalan pak ustadz..” alasanku.
          “Lihat sama yang lain..! Perhatikan yang benar!!”
          Aku langsung mengambil kitab Latifah yang kebetulan duduk disampingku.
Ahh.. Rifki, kau benar-benar membuatku seperti orang bodoh….

***
Aku bergegas menuju Madrasah Aliyyah dan segera meninggalkan komplek asrama puteri . kuawali pagi ini dengan sesuatu yang positif karena aku yakin hari akan menjadi lebih baik jika aku mengawalinya dengan itu.
Dengan setumpuk buku eksak di tanganku aku bersusah payah membuka perpus MA yang rupanya belum dibuka, dan aku yang kebetulan jadi petugas perpus kali ini harus mengontrol dan mengembalikan buku-buku yang baru dipinjam anak-anak.
Aku yang masih bersusah payah mengotak ngatik kunci pintu, tiba-tiba terperanjat begitu melihat sebuah tangan putih memegang gagang pintu.
“Biar aku bantu.” Kata Rifki mengambil kunci dari tanganku dan tentu tidak lepas dari senyumannya yang khas.
Aku diam dan masih tak mau mengalihkan pandanganku dari sesosok insan yang menawan di hadapanku kali ini, seolah tak ingin kulewati sedetikpun waktu untuk menatap wajah itu.
“Alfia!” Panggil Rifki menyadarkanku
Aku tersenyum dan segera masuk “Terimakasih” ujarku sebelum Rifki meninggalkanku.
Aku simpan buku-buku yanga ada di tanganku di meja. Sumpah! Berat banget.. sampai-sampai tanganku pegal dibuatnya.
Aku memilih duduk sejenak di kursi perpus. Melipat tanganku diatas meja dan memikirkan kejadian barusan. Ada hal yang sempat tak kupercayai. Rifki mengetahui namaku? Huuuffftt… ini sungguh-sungguh mengejutkan dan mengasyikan. Aku kira dia tidak akan mengenal siswa yang tak aktif sepertiku di MA Baitussalam ini..
          Ok. Cukup! Aku mulai sadar dari lamunanku dan segera menyimpan buku di tempat semula. Aku sendiri tidak mengerti kenapa Rifki selalu berpetualang dalam otakku? Terkadang ia memaksaku untuk mengingat tentangnya…
Dia…dia…dia..
Tidak habis cerita tentangnya. Selalu memenuhi sebagian ruang kosong di hatiku, tak pernah bosan merayap di setiap dinding hati ini. Dia dan dia hanya dia, Rifki.

***
‘ya Rabb…! Berdosakah aku bila aku berharap menjadi orang yang dicintainya? Salahkan bila cinta ini haru kubagi padanya sedang seharusnya Engkaulah satu-satunya dzat yang pantas mendapatkan cinta dari setiap hamba dengan sepenuh hati?
Aku tahu Rabb.. pandanganku telah ternodai karena tatapanku padanya. Namun hari ini sungguh telah kau jadikan hari yang membahagiakan untukku meski tak seharusnya itu terjadi’
          Aku kembali larut dalam dekapan cerita tentangnya setelah aku mengisi lembaran kosong dalam catatan harianku. Satu tahun ini benar-benar menjadi rutinitasku setiap malam, mengingatnya meski itu menyesakkan, memeluknya meski hanya bayangannya. Namun kuakui semua itu membuat jiwaku tentram.
          “Alfia! Aku bantuin ya?” Fatmah menghempaskan tubuhnya disampingku.
          Aku memandang Fatmah heran“bantuin apa?”
          “Buat ide untuk kreasi maulid nabi entarlah…”
          Dan aku hampir melupakannya…
Ini tidak boleh terjadi.. tidak boleh! Rifki jangan sampai mengambil sedikitpun syaraf dalam otakku untuk melupakan maulid nabi yang lebih utama…
Ini sungguh-sungguh tidak benar.. Bahkan aku tidak bisa memvonis apa ini wajar atau tidak..? apa Allah tidak terlalu over memberikan cintaku kepadanya? Tidakkah Dia salah menjadikan rasa ini ekstra besar dalam jangkauan akal fikiranku? Semoga ini tidak membuatku lupa kepada-Nya..
          “Hmm.. kita buat puisi yang mudah saja gimana?” Tanyaku memastikan
Fatmah terlihat menimang-nimang “Biar gak ribet iya sih Fi..”
“maklumlah kita-kita di kamar inikan buta seni ” komentarku.
Fatmah mengangguk mengiyakan.
Kamipun mulai diam membisu. Mulai sibuk dengan fikiranku masing-masing merasakan setiap alunan angin yang bertiup dibalik kaca jendela kamar kami.
Semuanya terasa sunyi dan sepi. Perlahan kututup mataku dengan sejuta harapan dengan sejuta Impian. Mimpi tentangnya dan tetap tentangnya..

***

Cinta adalah keindahan dan keindahan selalu menyembunyikan kelemahan. Ketika hatimu tertambat pada seseorang, maka matamu akan dibutakan dari kekurangan dan kelemahan yang dipunyai orang itu, dan ketika matamu buta, hatimu tidak bisa menilai apakah cintamu tepat engkau berikan kepada orang itu atau tidak.
          Kata itu, satu pernyataan yang aku temukan di lembaran novel yang pernah aku baca. Kau tahu kawan? Sepertinya aku sedang merasakan kegalauan itu. Apa aku benar-benar mencintai orang yang tepat menurut Allah? Atau hanya nafsu belaka? Ahh., aku tak mengerti..
          Malam ini aku memilih diam di dalam kamar. Entah kenapa rasanya aku enggan tuk keluar komplek. Padahal anak-anak yang lain begitu semangat untuk menghadiri acara maulid  nabi yang sedang berlangsung di komplek MA.
Aku merasa saat ini, detik ini, hatiku hampa. Tiba-tiba saja aku dibelenggu rasa takut yang luar biasa dan itu sungguh-sungguh tidak jelas.
          “Fi…! Gak berangkat?” kak Nissa, mudhabirrah asrama puteri nongol di balik pintu.
          Aku tersenyum “mau berangkat kak ini juga…” kataku sambil berdiri dari dudukku.
          Meski malas. Aku pergi karena tidak mungkin aku melewatkan aksi maulid nabi yang hanya diselenggarakan satu tahun sekali itu..
          “Kak..!” panggilku di sela samra-samar suara pengajian yang rupanya cukup keras.
          “Iya Fi…” respon kak Nissa.
          Aku menarik nafas panjang. Bahkan aku merasa berat menceritakan ini. Rasa ini, kebimbangan, ketakutan dan apa yang telah bersemayam dalam hati ini “Hmm.. aku tak enak hati, kenapa ya kak?”
          “Katanya sih mau ketemu sama orang yang dicintai fi…”canda kak Nissa.
          Aku tertawa pelan “masa iya sih kak?”

          “Ya, gak tahu juga sih fi. Kan cuma mitos… Banyak- banyak istighfar aja ya? ” perintahnya membuat hati ini sedikit tentram meski kegalauan itu masih terselip di sela-sela kalbu ini. Bahkan aku lupa dengan kalimat astaghfirullah. Ahh, ini sungguh-sungguh tidak normal….

***
          Ini bukan mimpi! Sungguh!
          Apa yang terjadi? Siapa yang kini berdiri di hadapanku benar-benar bukan sekedar fatamorgana yang menyelubungi akal sehatku.
Kutatap wajah itu. Tak ada yang berubah. Tetap sama. Manis, tampan, putih, dan selalu sukses membuatku sulit bernafas.
         
          Dalam waktu yang cukup lama aku dan dia seperti itu di depan gerbang komplek MA. Saling menatap dan mentransfer  rasa yang tersirat dalam jiwa atu sama lain.. berdua dan hanya berdua. Tak mempedulikan suara-suara yang terdengar ramai di lapangan.

          “Maaf…!”
          Setelah beberapa saat kami terdiam dalam tatapan yang sama sekali tak kumengerti, akhirnya Rifki bersuara dan menyadarkanku.
          Aku mengangguk “maaf juga.” Ujarku.
          “Kelapangan yuk..! acara udah dimulai kayanya..”
          Aku kembali mengangguk.
          Mulai berjalan jauh di belakang Rifki dan entah kenapa aku merasa raga itu semakin menjauh dariku..
***
          Aku termenung.mereply kembali kejadian barusan di gerbang MA. Tak kupedulikan kreasi apa yang ditampilkan anak-anak santri di atas panggung, yang aku tahu tuhan telah menakdirkan pertemuan itu..
         
          Aku tahu kawan. Kau pasti ingin tahu kenapa aku bisa hadir dalam skenario Allah dalam pertemuan itu. Baiklah akan kuceritakan. Tapi, jangan kau tanyakan kenapa! Karena ini sangat rahasia.
          Aku duduk dibarisan paling akhir bersama kak Nissa dan santriwati-santriwati lainnya. Menyaksikan gemerlap panggung tanpa penghuni. Lampu-lampu berwarna-warni berkelap-kelip membentuk kata Muhammad. Indah dan menawan..
          Namun tiba-tiba saja, pandanganku teralihkan pada anak-anak hadroh yang melintas di hadapan kami. Ini sangat mengejutkan. Personil hadroh yang berjumlah sepuluh orang itu ternyata ganjil dan tak lengkap. Tanpa kusadari pertanyaan itu muncul bergantian dalam benakku. Kemana Rifki? Apa ia sudah datang paling dulu? Atau memang ia tidak akan hadir? Telatkah dia? Kenapa dia?
Setelah aku larut dalam pertanyaan-pertanyaanku, aku memilih diam, menunggu Rifki yang akan melintas di hadapanku jika memang ia akan hadir..
          Namun, setelah beberapa saat aku menunggu aku mulai kesal dan resah. Aku memberanikan diri untuk berdiri dan mengamati barisan santri putera di balik hijab, dan sama sekali tak kutemukan.
          Hingga akhirnya, rasa penasaran merasuk dalam benakku. Aku ingin tahu kenapa Rifki tidak ada? Aku beranjak dari dudukku, bejalan keluar komplek dan kau tahu ? kemana? Ini gila.. aku beniat ke komplek asrama putera! Ini sungguh nekat bukan?! Dan kau tahu kenapa? Ya.. sudah kubilang jangan tanyakan kenapa karena ini sangat rahasia. Tapi yang pasti,. Cinta kadang membuat kita kehilangan kesadaran kita dan tak mempedulikan posisi kita.
          Namun ternyata, Allah masih menjaga kehormatanku. Aku dipertemukan dengan Rifki di gerbang MA. Ya..! Allah masih sayang denganku…

          “Fi…” panggil kak Nissa menyadarkanku.
          Aku menoleh “hehe.. ada apa kak?”
          “Anak-anak kamar 2 tuh…!” tunjuknya kepada Fatmah, Azmi, Latifah dan Isma yang kini berdiri di atas panggung.
          Apa yang terjadi? Kenapa anak-anak hadroh berdiri di belakang mereka berempat? “Kok ada hadrohnya sih kak?” Tanyaku pada kak Nissa.
          “Kata Azmi sih, puisi mereka kurang menarik kalo cuma puisi doing. Jadinya mereka minta kolaborasi sama anak-anak hadroh..” jelas kak Nissa.
          Aku diam. Kenapa mereka gak bilang? Emang sih setelah aku buatkan puisi itu, aku meminta agar mereka sendiri yang mencari ide agar pembawaan puisi itu bisa menarik. Tapi kenapa tidak memberi tahu aku kalu mreka berkolaborasi dengan hadroh? Argh! Ini gak adil. Sungguh gak adil!!! Harusnya aku juga berdiri bersama Rifki di panggung sana.
          Aku merutuki diriku sendiri. Merutuki keadaan. Sampai akhirnya suara Rifki dengan sholawatnya membiusku diriku. Aku diam. Sholawat ini sering disenandungkan oleh hadroh-hadroh yang lainnya. Tapi, selalu berbeda jika Rifki yang membawakannya. Suaranya, makhrojnya, ekspresinya, penghayatnnya, semuanya membuat keadaan sekitar membatu dan membeku.
          Aku masih tak mampu melepaskan pandanganku darinya. Meski jauh namun saat ini aku merasa dekat dengannya. Sangat dekat.
Ini mengejutkan! Pandangan itu.. benarkah tertuju padaku? Senyuman itu.. benarkah ia arahkan padaku? Ini terlalu jauh..! meski ragu aku membalas senyuman itu. Tak peduli kepada siapa sebenarnya ia lontarkan senyuman itu…

***
Ini sudah menjadi rutinitasku selama satu minggu ke belakang. Datang paling pagi ke sekolah dan tentu pulang paling akhir. Karena hanya ingin melihat seorang Rifki yang memang selama satu minggu ini tak kulihat.

          Aku berniat menanyakan ini kepada teman-teman sekelasnya atau orang-orang terdekatnya. Kemana Rifki? Sakitkah ia? Jika memang benar. Bolehkah aku menengoknya? Sebentar saja…! Namun, siapa aku? Aku bukan siapa-siapa di Baitussalam ini. Aku bukan santri eksis aku tak dikenal banyak orang. Aku Alfia santri biasa yang tak punya nama disini. Aku bukan siapa-siapa Rifki. Bahkan Rifki hanya tahu namaku tanpa ia ketahui siapa Alfia ini dan apa yang dalam hati seorang Alfia kepadanya.
          “Sendiri aja Fi?” Irham yang merupakan Mudzabbir asrama putera sekaligus personil hadroh melintas di hadapanku.
          Aku yang waktu itu ada di beranda sekolah dengan kitab ta’lim mutta’alim ditanganku memandang  Irham dan tersenyum hampa kepadanya. Ada niat ingin bertanya kepadanya. Tapi, betapa malunya diriku..
          Tapi tunggu! Kenapa Irham mengenalku? Bukankah tadi aku bilang aku bukan santri eksis? Tapi, seorang mudzabbir asrama putera tahu namaku?
          “Tunggu!” teriakku begitu Irham menjauh dariku.
          Irham membalikan badannya. “Kenapa?”
          “Hmm.. Rifki. Kemana dia?” tanyaku to the point.
          “Kau ada urusan dengannya?”
          “Tidak…! Aku.. aku hanya ingin tahu..”
          “Rifki pergi Fi. Ia pindah pesantren ke Malang.”

          Tanpa banyak kata aku pergi meninggalkan Irham setelah mengucapkan salam. Aku berlari menyusuri koridor sekolah dengan sejuta kekecewaan. Ini gak adil..! Bahkan dia belum tahu perasaanku dan Rifki tidak tahu perasaanku saat ini karena kepergiannya.
          Tiba-tiba saja cairan bening yang hangat menderas di pipiku. Bukan! Bukan aku cengeng. Tapi, untuk kali ini biarkan kulepas bendungan air mata yang selama satu minggu ini aku tutup rapat-rapat di peluuk mataku..

***
Aku duduk termanggu di tempat favoritku, beranda sekolah. Kusandarkan kepalaku di tiang. Merasakan kesepian yang selama empat hari setelah aku mengetahui kepergiannya itu menyergap hidupku.
Bahkan ini lebih sulit dari pelajaran Nahwu dan Shorof! Belajar melupakan orang yang dicintai dan larut dalam penantian panjang yang sangat impossible adalah hal yang sulit!. Kali ini aku kembali tertelan bersama moment-momen yang pernah aku tapaki.
         
          Madrasah Aliyyah, perpus, gerbang MA, panggung, semuanya! Kejadian yang pernah kulalui tanpa sengaja bersamanya bagai rekaman yang tak henti berputar dalam otakku, tak mau terhapus meski aku mencoba mendeletnya.
          “Alfia!”
          Aku membalikan badan dan sudah menemukan Irham berdiri di hadapanku. Sontak wajahku memerah, malu karena waktu itu aku meninggalkannya tanpa sebab.
          “Kitabmu..” Irham mengulurkan kitab bersampul merah yang mungkin aku tinggalkan waktu itu.
          “Terimakasih” ujarku mengambil kitab itu.
          Irham duduk di sampingku dalam jarak yang cukup jauh dan kami mulai tenggelam dalam diam.
          “Rifki…”
          Suara Irham mampu mengalihkan pandanganku padanya seolah nama itu bagai magnet yang menarik seluruh syaraf dalam tubuhku untuk memperhatikannya.

          “Dia tidak penah berhenti membicarakanmu. Sampai-sampai aku fikir kupingku melebar karena tiap hari mendengar namamu. Aku selalu kesal dibuatnya jika terus menyelipkan nama Alfia dalam kalimatnya.

          Ia menyukaimu Fia..! Hingga pada hari itu, hari dimana ia diminta untuk berangkat ke Malang, ia menolak. Benar-benar menolak karena ia bilang padaku ia tidak siap untuk jauh darimu. Tidakkah kau tahu, saat malam perayaan maulid nabi itu terjadi pertengkaran antara ia dan Pak Kyai hanya karena ia tidak ingin pergi dari Baitussalam ini.”
          Aku memilih diam. Tak ingin rasanya aku berbicara. Aku sadar jadi telatnya Rifki waktu itu adalah karena itu?
          “Rifki hanya bilang. Jika ada takdir yang mempertemuakn dia dan kamu lagi maka dia akan menjadikanmu orang pertama yang ia miliki. Kau mengerti?”
          Aku tak menjawab, yang aku lakukan sekarang adalah berdo’a semoga takdir itu benar-benat Allah alurkan untukku dan Rifki. “aku menyukai Rifki juga Ham, dan itu sudah lama.” Ujarku tiba-tiba dan akhirhnya ada satu orang yang tahu soal perasaanku. Irham orang pertama yang mengetahuinya..
          Keadaan hening.
          “semoga ada jalan untuk engkau dan Rifki bertemu kembali, dan semoga Rifki bisa pulang sebelum kau meninggalkan Baitussalam ini.”
          Aku hanya ingin. Mimpi yang kususun baik-baik menjadi harapan yang benar-benar nyata, aku yakin mimpi ini akan lebih indah dengan takdir tuhan untukku dan untuk Rifki.
          Aku mulai menikmati nuansa sore ini dengan harapan-harapan yang lebih baik sehingga tak ada lagi rasa kehilangan yang menyiksa.

___Tamat___

Total Tayangan Halaman

Yuukk follow me!

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto Saya
Nae
bandung, jawa barat, Indonesia
Lihat profil lengkapku

i crazy with this song