Pergilah resah... pergilah gundah...
Waktu yang berjalan telah membawaku menyusuri lembar demi
lembar kisah ini. Kisah biasa yang mungkin banyak terskenario di chanel-chanel
televisi, atau tergores oleh tinta-tinta penulis novel. Biarlah, aku tidak
peduli mirip cerita sinetron yang mana kisahku ini. Yang aku tahu, meski aku
cukup mahir mendramatisir keadaan, masalah hatiku tak sedikit pun kudramatisir.
Karena aku tahu aku tidak sedang belajar sastra saat ini.
Aku tidak tahu. Apa aku kembali ke masa lalu atau kembali
menyambut masa lalu itu. Kenangan yang pernah kutanam, tumbuh kembali, terpupuk
sehat dan mengakar lebih kuat. Membuatku lagi-lagi merasakan bagaimana sesaknya
dia yang dinamakan rindu. Atau mungkin dua kali lipat lebih sesak. Tapi tak
bisa kupungkiri kalau kenangan itu juga sukses membuat aku tersenyum dan
tertawa seperti orang yang posisi otaknya agak bergeser sedikit. Ahh ....
Yang kuingat tentang
dirimu, tentu namamu. Namamu yang unik, panggilanmu yang asing dan ejekanmu
yang selalu membuatku tertawa. Tapi yang paling aku ingat tentu senyuman
manismu. Senyuman dari bibir yang selalu tampak merah seperti dioleskan lipstik
itu. Ish, betapa aku merindukan sosok kamu. Kamu yang menurut aku sangat
sempurna. Kamu yang membuat aku seperti memiliki sayap saat pertama kali
melihatmu di balik gerbang sekolah tetanggaku waktu zaman SD dulu.
Percaya atau tidak, kamu memang ahlinya membuat
keterpanaan.Paling tidak di mataku. Semua tentangmu selalu membuatku seperti
terseret ombak paling lembut, terombang-ambing di tengah laut keindahan. Yang
kulihat hanya indah, indah dan indah. Yang kusuka tentu gayamu yang selalu
tampil rapi. Cara kamu berpakaian, caramu berjalan, caramu menulis, caramu
duduk. Ahh, tapi yang paling kusuka tentu saat kau mengenakan pakaian kompeni
Belanda itu. Si Biru yang selalu membuatmu terlihat gagah. Kau berbaris dengan
pasukan Marching Band yang congkak-congkak itu. Haha...
Aku bersyukur pernah mengenalmu, menuai sebuah ikatan
pertemanan denganmu meski tidak abadi.
Ya, itu hal pertama yang mestinya harus kusyukuri. Karena
merangkai cerita yang mungkin terlampau biasa untuk dirimu, namun sangat maha
indah untuk diriku itu adalah karunia Tuhan yang telah dijatahkan atas diriku. Terimakasih kau mau
menuangkan sedikit tintamu ke dalam lembaran kisah hidupku. Itu akan menjadi
goresan tinta paling indah dan paling kekal yang tidak akan pernah terhapus
dalam kertas hatiku.
Kamu tahu gak? Kenal dengan dirimu itu memang syukurku yang
paling utama. Tapi ada yang harus lebih kusyukuri lagi. Yaitu aku mencintaimu
dan mampu bertahan hingga sampai sekarang ini.Yang aku tahu, menjaga rasa ini
tidaklah semudah satu tambah satu. Tidak segampang membaca alif, ba, ta, tsa.
Karena terkadang aku merasakan nyeri hingga rasanya ingin menyerah dan mencari
cara untuk melupakanmu atau bahkan membencimu. Tapi juga tidak sesulit
menghafalkan rumus matematika, fisika dan kimia. Tidak serumit belajar nahwu
dan shorof. Karena aku tahu kalau perjuanganku yang didasari dengan ketulusan
ini lebih kuat dan hebat untuk mengalahkan rasa nyeri itu. Hahh, kau tidak
pernah tahu ada gadis sesuper aku yang begitu mencintaimu. Harusnya kau bangga
dicintai hingga segila ini.
Kau jauh... entah berapa ribu kilo meter jarak yang
memisahkan aku dan dirimu...
Dalam ketidakwarasan, aku selalu berandai kencang. Andai aku
bisa seperti Hermione Ganger yang memiliki Jam pembalik Waktu, sehingga aku
bisa kembali ke masa lalu. Memperbaiki segala kesalahan yang pernah aku perbuat
sehingga kamu tidak menjauh seperti ini. Seperti sekarang ini. Tapi bahkan aku
tidak pernah ingat apa salahku padamu. Mungkin memory otakku masih ukuran kilo
byte sehingga untuk mengingat itu saja rasanya sulit. Karena tentu yang kuingat
dan kusimpan dalam memory otakku yang kapasitasnya kecil ini hanya kata AKU MENCINTAIMU.
Aku tidak ingat sejak kapan kamu menjauhiku. Tapi saat aku
sadar, rasanya sangat menyakitkan. Menyakitkan sekali! Aku ingat, saat lebaran
tahun kemaren, saat aku bertemu denganmu, kamu hanya tersenyum saja. Dan
bibirmu tidak semerah dulu saat kita masih berteman baik. Tak ada basa-basi
seolah kita tidak pernah kenal dekat. Padahal dulu kamu yang paling rajin loh,
nyontek PR matematikaku, kamu yang paling semangat nawarin jawaban tugas Bahasa Inggrisku sama
teman-temanmu sampai bukuku lecet ditarik ke sana-ke mari, kamu yang paling
sering duduk di mejaku sambil nyanyi-nyanyi. Ya Tuhan, bahkan aku masih ingat
lagu apa saja yang selalu kamu nyanyikan saat itu.
Aku juga pernah rasain yang lebih sakit. Sakit seperti
ditikam pisau saat tahu sahabatku berhubuhangan denganmu. Ah, aku lupa kalau
sahabatku memang yang selalu paling unggul dariku. Jadi wajar saja kamu
mencintainya. Tapi sudahlah, aku tidak terlalu mempermasalahkan itu. Meski
mendapat kabar kamu yang sudah sejak SD aku cintai, berhubungan dengannya itu
adalah hal yang menyakitkan hati seumur hidupku. Tapi tentu dijauhi dan
dimusuhi tanpa alasan adalah hal yang membuatku lebih rapuh.
Kenapa ya kamu seperti itu kepadaku? Tentu hanya kamu dan
Tuhan yang tahu...
Mencintaimu memang membuatku tumbuh menjadi sosok yang kuat,
yang sabar, yang ikhlash dan tentu tulus. Aku kuat saat kamu jauhi aku, aku
sabar saat kamu terang-terangan ganti nomor handphone hanya karena aku tahu
nomormu, aku ikhlash saat kamu memilih mengisi hati sahabatku ketimbang hatiku,
dan aku tulus mencintaimu sampai sekarang meski perih ini terasa ngilu hingga
hatiku yang paling dalam. Karena aku tahu Tuhan telah membuat hatiku seteguh
ini untuk mencintaimu Tuhan telah menciptakan hati paling kokoh yang mampu
bertahan hingga selama ini, untuk menyimpan aman namamu.
Aku tidak pernah peduli kamu seperti apa padaku, kamu
seperti apa di mata orang lain, aku tidak pernah peduli bukan karena cinta
telah membutakan mata hatiku. Tapi karena cinta sudah membuka mata ini lebar-lebar
agar aku bisa melihat kamu dari berbagai sisi. Melihat segala kurangmu hingga
jika (lagi-lagi berandai) suatu saat nanti kamu menjadi milikku, aku yang akan
menambal segala kekuranganmu dengan kelebihanku yang hanya sedikit ini.
Heii, kamu yang saat ini jauh di sana. Kamu yang saat ini
entah sedang apa. Bisakah kamu mendengarkanku? Mendengar aku yang terlalu
pengecut ini untuk bercerita banyak hal. Bercerita tentang seorang gadis yang
dulu selalu intipin kamu latihan pramuka tiap hari sabtu. Seorang gadis yang
pura-pura pergi ke koperasi madrasah hanya untuk lihatin kamu main bola
sepulang mengaji. Seorang gadis yang yang diam-diam suka ikut meringis saat
kamu dapat hukuman. Dia yang selalu
rajin nyiptain rangkaian puisi buatmu. Dia yang tanpa ada yang tahu, menyimpan
banyak foto kamu di bawah kolong ranjangnya. Dia yang saat ini begitu
merindukanmu. Dia yang selalu pura-pura tegar dan kuat menyimpan rasa menyiksa
itu. Dia gadis bernama Aku. Aku yang sangat mencintaimu.
Aku selalu berharap kamu
cepat kembali. Bukan untuk tersenyum kepadaku karena bibirmu tampaknya
sudah kehilangan gincu merah itu. Tapi untuk sedetik saja aku tatap hingga
rindu ini cukup terobati.
Biar aku menjaga hati ini.Perasaan ini. Hingga Tuhan
mengambilnya dengan membiarkanku mati rasa.
Ana Uhibbuka.... Abadan...