Rabu, 04 April 2012

0

Berhenti Untuk Berakhir_sekuel2 I Remember It (cerpen)

***

Perlahan kubuka pintu berwarna putih gelap itu. Dan aku dapat melihat dengan jelas gadis itu. Ia menangis pilu sembari memanggil-manggil namaku. Ruangan yang tempo hari pernah kukunjungi itu tampak penuh dengan kabut-kabut kesedihan. Gadis itu tersedu sedan.

"Sivia!" panggilku memanggil gadis itu. Sivia menoleh.

"Alvin!" panggilnya.

*

Sesaat aku membuka mata. Mengamati keadaan di sekitarku. Mencari dimana arah suara itu. Hanya ada Ibu, Iyel dan Cakka di sekitarku. Lalu dimana Sivia? Dimana dia?

"Sivia mana bu?" tanyaku lemah. Menatap Ibuku yang sepertinya sudah menangis. Matanya sembab dan merah.

"Jangan mencoba keluar dari ruangan ini lagi Al! Apa lagi atap rumah sakit menjadi tujuan kamu. Kau hampir mati disana!" cerocos Cakka memperingatiku.

"Kau tak boleh kemana-mana tanpa kami!" sambung Iyel lebih halus. Ia menatapku prihatin.

Aku menarik nafas kecewa. Rupanya Sivia hanya mimpi saja. Aku ingat beberapa jam yang lalu aku pingsan di atap rumah sakit pasca melihat-lihat foto dalam kameraku. "Rio?" tanyaku begitu sadar temanku yang satu itu tak ada disisiku.

"Dia pergi sebentar. Benerin kamera kamu!" Ibu menjawab pertanyaanku sembari mengelus-ngelus rambutku.

Aku mengangguk mafhum. Menatap mereka bergantian. Tatapan mereka, kebaikan mereka, dan keberadaan mereka lah yang selama ini membuatku bertahan di dalam kondisiku yang semakin memburuk. Merekalah yang membuatku enggan masuk ke dalam ruangan itu lebih dalam. Merekalah yang membuatku tak mampu memeluk Sivia. Merekalah orang-orang hebat yang berusaha menarikku untuk tetap disinig

"Izinkan aku pergi ya Bu, aku ingin menemui Sivia. Dia menangis memintaku untuk ada di sisinya."

Ibu dan kedua temanku sontak terenyuh.

"Alvin! harusnya kau bilang pada Sivia kalau Alvin masih mau bersama Ibu!" Kata Ibu terkesan meminta.

"Tapi Bu, disana jauh lebih tenang. Tak ada rasa sakit seperti disini. Alvin ingin saja disamping Ibu dan juga Cakka, Iyel serta rio. Tapi, Alvin gak bisa bu. Bukan Alvin memilih Sivia karena pada dasarnya Ibu lebih berharga dari apapun. Alvin hanya ingin merasakan ketenangan. Alvin sudah menyerah hidup dengan alat-alat medis ini" jelasku menundukan kepala. menahan tangis karena bagiku mengatakan itu begitu memilukan.

Ibu memelukku erat. Sepintas kulihat Iyel dan Cakka. Mata mereka berkaca-kaca. Mereka selalu tampak lemah beberapa bulan ini. Lemah karena aku yang mengambil separuh kekuatan mereka. Maaf!

*

Setelah berbagai cara telah kulakukan untuk membujuk dokter dan Ibu serta ketiga temanku agar mengizinkanku untuk keluar dari rumah sakit dan pergi menuju tempat ini―tempat favoritku bersama Sivia, akhirnya akupun mendapat izin.

Meski Iyel, Cakka dan Rio bersikukuh menemaniku. Tak jadi masalah. Bagiku berada di tempat inipun satu hal yang patut kusyukuri. Hal istimewa yang aku dapatkan. Bisa menginjakan kaki disini setelah bertahun-tahun tak pernah lagi kumenjamahnya.

Kincir-kincir bambu itu masih berdiri tegak meski sebagian ada yang tumbang dimakan usia. Gerakan perputaran mereka sangat pelan. Entah karena angin yang enggan menyentuhnya lagi. Atau karena mereka sudah terlalu rapuh untuk berputar cepat.

Kuedarkan pandanganku ke setiap penjuru. Tak ada apa-apa selain rumput-rumput yang berdiri lebih tinggi dari terakhir kali aku menengoknya.

"Al, pulang yu! Udah cukupkan lihat-lihatnya?" tanya Iyel menepuk pundakku.

"Bentar lagi Yel. Aku masih ingin merasakan perputarannya." Ujarku pelan. Aku hanya ingin meraskan ini sebelum kehidupan ini kutinggalkan. Menikmati perputaran waktu yang cukup pelan.

"Sampai kapan Al? Disini itu gak ada apa-apa tahu gak? Aku heran deh sama kamu!" Kesalanya. aku tahu itu bentuk rasa takut Cakka akan kondisiku.

"Udahlah Kka! Gak usah emosi gitu!" tegur Rio menenangkan."Al, kamu nunggu apa?" tanya Rio pelan.

"Nunggu kincir-kincir itu berhenti" jawabku enteng.

Ketiga temanku menarik nafas panjang tak mengerti dengan jalan fikiranku.

Keadaan hening..

Hening..

Dan hening..

Sesaat, aku merasa sesuatu menghantam kepalaku dari dalam. Sakit. Aku menjatuhkan tubuhku diantara rumput-rumput hijau yang sudah dihiasi warna kuning.

"Argh!" erangku pelan. Kali ini secara tiba-tiba dadaku sesak. Detak jantungku berlomba dengan hembusan nafasku. Semuanya berbayang, samar dan akhirnya gelap.

Sepintas kudengar sayup-sayup suara cemas ketiga temanku memenuhi gendang telingaku, mengiringi langkahku menuju gerbang putih itu. Hingga akhirnya hilang, seiring berhentinya perputaran kincir-kincir bambu itu. Seiring tak ada lagi detakan jantung itu. Seiring menetesnya kristal-kristal bening dari ketiga pasang mata itu.

dan kuberjalan menyusuri taman-taman hijau itu. Hingga kumenemukannya dan mendekap hangat tubuhnya, Sivia.

END
0

Berputarlah!_sekuel I Remember it (cerpen)

*

BRAKK!

Secara tiba-tiba kamera SLR yang sedang kupegang jatuh begitu tanpa diundang rasa sakit yang luar biasa menyerang kepalaku. Secara repleks tanganku meremas-remas kepalaku dan tak mempedulikan benda apa yang sedang kupegang. Meski camera kesayanganku sekalipun!

Aku tertunduk lemas di atap rumah sakit ini. Memory itu. Tereply kembali. Memaksa otakku flashback ke masa itu. Dan kepalaku selalu terasa sakit tiap kali ini terjadi.

*

Kincir-kincir bambu itu berputar, berputar dan berputar di tengah padang rumput hijau setinggi lutut. Menuruti perintah sang angin yang tiada henti menghantamnya. Terkadang pelan, terkadang cepat. Layaknya waktu yang tak ingin berkompromi. Ia selalu terasa cepat berlalu setiap kali kebahagiaan berpijak di puncak hati. Dan begitu lamban ketika nestapa membelenggu jiwa. Waktu memang egois! Sungguh egois!

Gadis itu duduk manis di samping anak laki-laki berwajah oriental―Alvin. Memeluk lengan Alvin erat seolah pemuda itu tak boleh sejengkalpun beranjak dari sisinya. Tak ada pemandangan khusus yang harus mereka tonton saat ini. Hanya puluhan kincir-kincir bambu yang berdiri tegak di sekitar mereka yang mereka nikmati. Namun semuanya terasa istimewa. Karena mereka lewati berdua. Hanya berdua.

"Berputarlah! Berputar dan berputar. Jangan berhenti sampai kusuruh kau berhenti. Karena kau indah dengan putaran khasmu." Sivia mengangkat lengan kirinya. Mengarahkannya pada salah satu kincir yang jaraknya cukup jauh dari mereka. Kincir itu terlihat kecil dan Alvin tak lagi melihat kincir itu karena telapak tangan Sivia menghalanginya.

"Berputar karena aku suka melihatmu berputar. Berputarlah dan terus berputar. Karena dengan berputar aku kan tahu ada masih ada kehidupan disana!" Sivia mengubah bentuk jari tangannya membentuk huruf C.

Alvin tersenyum dan mulai mengangkat lengan kanannya. Membiarkan jari-jarinya membentuk huruf yang sama. Sejurus kemudian ia menyatukannya dengan tangan Sivia. Dan tampaklah dihadapan mereka lambang-yang-orang-bilang-lambang-cinta, dengan di tengah-tengahnya sebuah kincir yang tengah berputar.

"Lambang ini akan tetap ada meski kincir itu tak lagi berputar." Ujar Sivia menatap Alvin.

Alvin tersenyum kembali sembari menurunkan tangannya dan memeluk Sivia erat. Sivia membalas pelukannya. "Aku sayang kamu!" ujar Alvin mendaratkan kecupannya tepat di ubun-ubun kepala Sivia. Menikmati waktu yang sangat singkat itu untuk merasakan tiap denting-denting keputus asaan.

*

Ia rindu tempat ini. Ia rindu suasana ini. Dan ia rindu bola berwarna orange ini. Sudah hampir 3 bulan tak ia sentuh bola itu. Dan saat ini merupakan kebahagiaan tersendiri untuknya bisa merasakannya lagi. Berkumpul bersama ketiga temannya. Mendrible bola, berlari, mencetak angka dan tertawa bersama. Betapa ia merindukan suasana ini. Dan ia tak peduli dengan tatapan cemas dari ketiga temannya itu.

"Udahan ah, Al! Aku capek.." Rio duduk di tengah lapang. Ia memandang Alvin dengan tatapan agar Alvin mau mengikutinya.

"Aku juga!" sambung Cakka bersandar di tiang ring.

Alvin memandang mereka bergantian dan kemudian stuck pada Iyel yang juga akan mengakhiri permainan. "Yah, ayolah! Aku masih mau main tahu. Payah deh kalian!" protesnya sebelum Iyel membuka mulut untuk mengakhiri permainannya juga.

Iyel mendesah. Menatap Alvin dengan tatapan agar Alvin mau berhenti main. "Udah ya Al! Nanti kamu pi..."

"Ya udah kalau kalian gak mau main lagi" ketus Alvin memotong ucapan Iyel yang sudah mengarah kesana. "Aku main sendiri saja!" sambungnya sambil mengambil bola yang tergeletak di hadapannya.

Sesungguhnya ia tak suka berada di posisinya sekarang ini. Di-protect-in banyak orang, dilarang ini, dilarang itu hanya karena penyakit yang bersarang dalam tubuhnya. Ia tak suka hal itu. Meski sebenarnya ia lemah, ia tetap ingin bermain bersama mereka seperti dulu sebelum ia tahu ada penyakit dalam tubuhnya.

"Sory Al! Kita cuma khawatir" Tiba-tiba saja Cakka mengambil bola di tangan Alvin. "Ayo kita main lagi!" semangatnya disusul anggukan setuju dari Iyel dan Rio.

Alvin tersenyum dan mengangguk semangat. Meski raut wajah kecemasan masih nempel di balik wajah Iyel, Rio dan Cakka, Alvin tetap bahagia dengan ini. Mengingat sudah lama tak ia rasakan moment-moment seperti ini.

Dan mereka larut dalam tawa untuk sepersekian menit, sampai Alvin merasa seseorang memegang tangannya dan menarikku menuju pinggir lapangan.

"Berhenti melakukan hal bodoh, Alvin!" perintah orang yang baru saja menarik tangan Alvin. Dia Sivia.

"Kenapa Vi? Sebentar saja!" Alvin menatap Via lekat-lekat. Meyakinkannya bahwa dia baik-baik saja.

PLAK!

Sesaat saja Alvin merasakan hawa-hawa panas di sekitar wajahnya. Tanpa alasan yang jelas Sivia menamparnya. Alvin memegan wajahnya. Tak mengeqti dengan aksi Sivia ini. Sepintas Alvin melirik ke arah Rio, Cakka dan Iyel yang menghampinya. Masing-masing dari mereka memasang wajah bingung sepertinya.

"Aku kecewa sama kamu. Kecewa banget! Sekarang coba kamu fikirkan. Bagaimana kamu bisa sayang sama aku kalau menyayangi diri kamu sendiri saja kamu gak bisa!"

"Via, aku hanya bermain sebentar! Coba kamu lihat aku!" Alvin memegang bahu Sivia. memaksanya menatap wajahnya. "Aku baik-baik saja kan?" tanyanya meyakinkan.

"Bukan itu Alvin! Bukan itu yang aku maksud." pekik Sivia meronta melepaskan cengkraman Alvin. Iyel berusaha menenangkannya. Sedang Cakka dan Rio sudah berdiri mengapit Alvin. Takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan.

"Apa Via? Aku tak mengerti!" Alvin menaikan intonasi suaranya. Sedikit membentak Via.

"Apa maksudmu meninggalkan Chek-up sebulan ini? Apa maksudmu membuang semua obatmu? apa maksudmu marah-marah pada ibumu agar ia tidak menyuruhmu ke Rumah sakit lagi? Apa maksudmu Al? Menyakiti dirimu sendiri? Bunuh diri? Kamu bodoh Alvin! Aku benci kamu!"

Alvin terdiam. Rentetan pertanyaan Sivia seperti soak-soal ujian yang paling sulit. Ia tak bisa menjawab semuanya. Alvin melihat tubuh Via bergetar. Sivia menangis. Entah ke berapa kalinya Sivia menangis karenanya. 'aku memang orang yang paling bodoh yang bahkan tak mampu sekalipun membuatmu bahagia, vi!' batin Alvin pilu.

"Aku hanya takut sesuatu yang buruk terjadi padamu. Aku taku kamu kesakitan lagi. Aku takut Alvin. Aku gak ingin kamu..."

"Ssttt" Alvin memotong Ucapan Via. Tak kuasa mendengar isak tangis gadis itu. "Maafkan aku! Aku janji tidak akan mengulanginya kembali." sambungnya hanya sekedar menenangkan Via. Bahkan ia tak taku apa ia bisa jika harus mengkonsumsi obat-obatan itu lagi. Apa ia mampu menahan sakitnya suntikan-suntikan itu. Dan apa ia sanggup menerima kenyataan pahit bahwa penyakitnya tak urung membaik? Entahlah!

*


Alvin memegang tangan Via erat. Menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Setelah beberapa jam yang menyiksa di ruang pemeriksaan. Akhirnya ia bisa keluar juga dari ruangan itu. Kembali menatap Sivia yang selama beberapa hari ini menemaninya control ke rumah sakit.

"Bagaimana Al? Apa ada perkembangan?" tanya Sivia menatap Alvin serius. Berharap ada jawaban yang cukup baik dari hari-hari sebelumnya.

Alvin tersenyum sambil mengacak-ngacak foni Sivia. "Mau tahu aja deh kamu!" Candanya sambil merangkul Via.

Sivia memajukan bibirnya cemberut. Tidak puas mendengar jawaban Alvin, ia mendesah berat sambil membenarkan foninya. Ia tidak ingin memprotes Alvin kali ini. Karena ia tahu jika Alvin seperti itu, maka tidak ada perkembangan yang baik dari kesehatannya.

"Aku ingin menghabiskan waktu bersamamu hari ini. Mau ya?" ajak Sivia saat ia dan Alvin masuk ke dalam mobil.

Alvin tersenyum lagi. Aneh dengan ajakan Via."Hm, baiklah. Setiap haripun tak masalah untukku." Jawabnya menstarter mobilnya.

"Al..." panggil Via lagi.

Alvin menoleh. Via tengah tersenyum padanya dan beberapa jurus kemudian Via menempelkan bibir tipisnya di pipi Alvin yang langsung memerah. "Jangan pernah mencoba beranjah dari sisiku. Untuk hari ini saja, aku ingin selalu bersamamu."

Meski terkesan agak aneh. Alvin mengangguk mengiyakan. Ia mengelus kepala Sivia sebelum mengemudikan mobilnya. "Kita ke tempat faforit kita ya?" ajaknya.

Sivia mengangguk semangat. Lagi pula ia kangen dengan tempat itu. "Sebelumnya kita ke toko mainan dulu!"

"Siip!"

*

Sivia berputar-putar di tengah padang rumput itu. Berputar layaknya kincir bambu. Berputar dan berputar. Tertawa lepas dan sesekali berteriak bebas. Ia bahagia dan sungguh-sungguh bahagia. Gelembung-gelembung kecil berbentuk bulat berterbangan di sekitarnya.

"Lihat Al! Gelembungnya banyak banget ya?" Sivia berhenti sejenak menatap Alvin. Kemudian berputar menyuruh sang angin meniup gelembung sabun yang menempel di balik lingkaran kecil di tangan kanannya hingga membentuk bulatan-bulatan bening kecil yang lucu.

Alvin tersenyum melihat pemandangan indah itu. Sesekali ia membidikkan lensa kamera SLR-nya yang sengaja ia ambil, ke arah gadis itu. Dan ia ikut tersenyum meski kerap kali rasa sakit berdenyut di kepalanya―tidak terlalu parah memang. Hanya sebentar datang dan sebentar hilang.

"Alvin! Ayo berputar bersamaku!" teriak Sivia masih terus berputar.

Alvin hanya menanggapi ajakan Via dengan senyuman tipis. "Berhentilah Via! Nanti kau pusing." Perintah Alvin masih fokus pada kameranya. Ia duduk bersila diantara rumput-rumput hijau itu.

"Hei, aku mencintaimu!" Tutur Sivia yang sudah duduk di samping Alvin sembari meniupkan gelembung-gelembung sabun itu ke arah Alvin.

"Aku juga mencintaimu!" Alvin mengarahkan cameranya ke arah Sivia. Mengambil gambar gadis itu.

"Aku seperti foto model saja setiap kali kau bawa camera."

Alvin terkekeh. Ia merangkul Via. "Kau model tercantik yang selalu ada di hatiku!" bisik Alvin pelan. Tepat di telinga Sivia.

Via hanya menunduk. Tersipu malu. 'gombal' fikirnya.

*

"Alvin! Aku bilang berhenti. Berhenti!" Pekik Sivia panik saat melihat Alvin yang sudah kehilangan konsentrasi pada kemudianya saat mereka berada dalam perjalanan pulang.

Alvin berniat menginjak rem. Namun entah kenapa kakinya tiba-tiba terasa lemas. Tangannya susah digerakan. Ia merasa syaraf otaknya terputus dan tak bisa mengintruksikan anggota tubuhnya yang lain untuk bergerak.

"Arrggh Via! Kepalaku sakit!" Histeris Alvin memegang kepalanya erat. Sementara mobil masih melaju.

Via panik sendiri. Dengan terpaksa ia mendekat ke arah Alvin. Kakinya berusaha mencari-cari dimana letak pedal rem. Dan ia menginjak bagian yang ia yakini itulah pedal rem. Berhasil. Mobil berhenti.

satu detik..

dua detik..

tiga detik..

BRUUUAAKK !

Sesaat mobil yang mereka tumpangi terdorong ke depan. Entah berapa kilo meter dari tempat kejadian. Sebuah tanki air yang sedang melaju cepat menabrak mobil Alvin yang memang berhenti di tengah jalan.

Sepintas Via menyadari keadaannya terbalik. Setelah entah berapa kali mobil itu berguling-guling, akhirnya berhenti juga dalam keadaan terbalik.

Ia mencari Alvin dengan sudut matanya. Tak ada. Alvin sudah terpental jauh dari jaraknya sekarang, tubuhnya keluar dari kaca depan yang sudah pecah. Dan dengan sisa tenaga yang ada Sivia berusaha membuka pintu. Tidak bisa. Sudah terlalu banyak darah yang keluar dari tubuhnya. Sehingga darah yang keluar dari tubuhnya sehingga perlahan-lahan kesadaran itu menghilang dan...

Seketika sebuah warna orange bercampur merah, biru dan kuning disertai bunyi ledakan yang maha dahsyat terdengar memekakan indera pendengaran di seluruh penjuru jalan itu.

Mobil Alvin meledak. Dan Via masih berada di dalamnya!

*

Aku semakin menguatkan cengkraman tanganku. Aku tak bisa menghentikan sakit ini. Setetes air mata terhempas di wajahku. Tak kuasa lagi kumenahannya. Memory itu benar-benar menyiksa! Kenapa 
aku harus mengingatnya? Kenapa aku selalu ingat itu!

Aku merasa seluruh objek disekitarku berputar, berputar dan berputar layaknya kincir-kincir bambu. Semuanya buram hingga akhirnya gelap. Benar-benar gelap!
0

I Remember It (Cerpen)

***


"Alvin!"

"Al! Bangun sayang!"

"Bangun jagoan!"

"Alvin! Buka matamu!"

Aku terhenyak. Suara itu. Suara lembut itu menyapa indera pendengaranku dari tiap sudut. Menuntun syaraf otakku untuk bekerja lebih keras. Aku ingin membuka mataku. Namun sulit. Entah kenapa.

*

Aku mengedarkan pandanganku. Asing. Benar-benar asing. Sebuah tembok polos dengan warna abu menjadi satu-satunya yang melingkup ruangan ini. Tekstur keadaan ruangan itu tampak seperti kastil zaman kuno di negara Skotlandia. Semuanya dingin. Sepi dan lenggang.

Jendela dengan besi kotak-kotak di sekitarnya menjadi satu-satunya jalan masuk penerangan ke dalam ruangan yang hanya dihuni oleh beberapa benda. Tempat tidur bersprai putih dengan polet kuning emas di sisinya dan sebuah meja kecil yang berdiam diri di sampingnya. Menjadi ciri, kamar ini sangat sederhana.

Aku mengalihkan pandanganku ke luar jendela. Embun-embun tipis melekat di balik jendela, membuat pandanganku buram dan tidak dapat melihat jelas keadaan di luar sana. Perlahan aku menuruni tempat tidur. Berjalan menuju pintu keluar. Semuanya terasa ringan.

Klek!

Belum sempat kumemegang handle pintu, pintu sudah terbuka. Kulihat seseorang di baliknya. Gadis berparas cantik dengan gaun putih selutut tengah berdiri di hadapanku. dan aku kenal gadis itu. Sivia―kekasihku yang beberapa tahun tak kutemui.

"Mau pergi kemana?" tanya Sivia.

"Aku dimana?" tanyaku balik.

Sivia tersenyum mendengar pertanyaanku. "Di rumahmu.." jawabnya tak melepaskan senyumannya.

Aku menaikan satu alisku bingung. Rumahku? Sejak kapan? bahkan aku tak kenal ruangan ini.

"Sudahlah! Masuklah dulu! Aku ingìn bercerita panjang lebar kepadamu." Sivia mendorongku ke dalam ruangan tadi dengan pelan.

Aku duduk di atas tempat tidur. Sivia duduk di sampingku. Aku berfikir keras. Menatap Sivia lekat-lekat. Tak ada yang kuingat. Yang kuingat hanya, sudah lama tak kulihat gadis itu. Dan di saat kami bertemu disini. Gadis itu tak main-main cantikny. "Sivia! apa yang terjadi? aku tak ingat apapun!" tanyaku tak mengerti. mencoba memutar kembali ingatanku. namun tak bisa.

"Jangan terlalu berfikir keras. Nanti juga kau ingat dengan sendirinya" kata Sivia tiba-tiba memelukku. "Aku rindu padamu, Alvin! Jangan coba beranjak dari sisiku. " pintanya menguatkan pelukannya.
Aku terdiam. Tak mengerti. Namun betapa tidak secara spontan kurasakan ketenangan dalam dekapan Sivia. Ketentraman itu menelusup lewat pori-pori tubuh dan stuck tepat di dasar jiwa. Aku tak ingin mengingat apapun. Ini terlalu menenangkan. Mungkinkah sekarang amnesia sedang menyerangku? Entahlah...

*

Tempat ini. Bukan buatan indahnya, rumput hijau pendek terbentang mengelilingi bangunan yang Sivia bilang, rumahku. Pagar besi putih menjulang, bercengkrama dengan kabut-kabut tipis yang menyapa bumi. Menara-menara rumah yang tinggi, berdiri tegak menggapai awan-awan putih. Aku tertegun. Bahkan aku lupa punya rumah semegah ini.

"Alvin! Kejar aku!" teriak Sivia berlari menjauhiku.

Aku terhenyak. Menatap Sivia yang sudah jauh dari jarakku sekarang. Gaun putih Sivia bergerak-gerak seirama dengan gerakan rambut hitamnya yang tergerai. Aku berlari mengejarnya. Berusaha meraih tangannya. Berhasil. Kami berlari berdua. Saling menggenggam erat jari jemari. Menyusuri anak-anak tangga. Melewati para pelayan-pelayang bercostum putih cerah yang tentunya selalu terlihat ramah yang ceria. Mereka tetap sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Dan aku tak ingat punya pelayan yang begitu banyak.

Aku dan Sivia berhenti di taman belakang. Tertawa. Berputar-putar. Menikmati angin lembut menerpa tiap inci indera peraba. Suara gemericik air amancur menjadi melodi terindah yang mengiringi aksi kami. Belum pernah aku sebahagia ini.

"Aku merindukanmu, Sivia!" Bisikku tepat di telinga Sivia sambil menghempaskan tubuh itu di atas rumput hijau.

Sivia tersenyum. Dan aku tidak pernah bosan menatap wajahnya. Gadis itu―Siviaku, kembali ke dalam pelukanku setelah bertahun-tahun hilang dalam hidupku. Dan aku tak ingat, siapa yang meninggalkan dan ditinggalkan. Aku tak ingat sama sekali.

"Sivia, aku bahagia bisa bersamamu kembali."

Sivia hanya merespon ucapanku dengan senyuman.

Aku memeluk tubuh itu erat. Meluapkan rasa rindu yang meletup di dasar jiwa. Sivia membalas pelukanku lebih erat.

"Alvin! Tetap bersamaku disini! Jangan tinggalkan aku apapun yang terjadi." Pinta Sivia. Aku mengangguk mengiyakan.

*

Kubenamkan wajahku di kedua telapak tanganku. Mencoba mengingat apa yang sebelumnya terjadi. Kecelakaan apa yang membuatku amnesia? Kenapa tak ada diantara mereka―para pelayan yang mengenakan costum putih cerah itu, yang mau memberitahuku? Lalu kemana ayah dan ibuku? Kenapa tak kulihat mereka selama aku disini? Bukankan ini rumahku? Argh! Kepalaku sakit! Sangat sakit! Aku menghentikan aktivitasku. beralih mengamati keadaan disekitarku.

Rumah ini terlalu besar dan terlalu megah. Desain kunonya terlalu cantik. Kepolosannya terlalu menenangkan. Dan aku tidak tahu apa-apa tentang rumah ini. Sama sekali tidak tahu.

"Alvin!"

Seseorang melingkarkan tangannya di leherku. Membuat semua fikiran aneh yang bersemayam dalam otakku buyar dan hilang. Aku tersenyum begitu menyadari pemilik tangan lembut itu Sivia. Gadis itu selalu bisa membuat fikiranku tenang.

"Ayo kita jalan! Kan kuajak kau keluar dari istana ini!" Sivia melepaskan pelukannya. Beralih menggenggam erat jemariku. Berjalan menuju pintu rumah.

Aku mengamati Sivia lebih rinci. Gaunnya lebih panjang, namun warnanya tetap sama. Apa Sivia suka warna putih? entahlah! aku tak ingat.

"Kita akan pergi kemana?" tanyaku penasaran.

"Kemana saja asal berdua bersamamu!" jawab Sivia enteng sembari berlari menarik tanganku keluar dari gerbang putih yang tinggi itu. Dan kami terus berlari hingga berhenti di sebuah danau hijau yang luas dengan dikelilingi pohon-pohon berdiameter besar yang tak aku ketahui pohon apa.

Aku duduk di pinggir danau itu. Sivia melakukan hal yang sama. Ia bersandar di bahuku. Merasakan tiap jengkal dari kehangatan ini. Perlahan kurengkuh Sivia dalam dekapanku. Menuntun kepalanya tersandar di dadaku. Membiarkan ia dengan jelas merasakan detakan jantungku. Dan ia akan taht tiap detakan itu adalah irama pengiring yang akan menyampaikan betapa aku takut kehilangannya lagi.

"Begitu lemah!" desis Sivia pelan. Aku diam tak mengerti. "Pelan sekali!" sambungnya dan aku tak peduli dengan apa yang diucapkannya. Dengan lembut kubelai rambutnya. Dan setiap kali tanganku menyentuhnya, jiwa ini terhempas ke dalam lautan ketenangan yang begitu dalam. Aku memejamkan mata. Menikmati detik-detik ketenangan itu.

"Berhentilah!" bisik Sivia lagi. "Aku mohon berhenti!" lanjutnya masih dengan intonasi rendah.

"Kenapa Via?" tanyaku penasaran dengan kata-kata Via.

"Jangan pergi dariku, Alvin! Jangan pernah tinggalkan aku! Jangan biarkan aku sendirian lagi!" Lirih Sivia membuatku semakin berpijak digaris ketidakfahaman.

"Tidak akan, Via! Aku tidak akan meninggalkanmu." Terangku semakin menguatkan dekapanku.

Dan kami larut dalam diam. Tak ada sepatah katapun yang terucap. Kebisuan menyelimuti kami berdua. Sebelum akhirnya...

Aku merasa seseorang menarik tubuhku menjauh dari Sivia. Sepintas kutatap Sivia yang juga ditarik paksa oleh 2 orang berpakaian hitam-hitam. Sementara tubuhku diseret paksa oleh 5 orang lainnya.

"Alviiiinnn!" teriak Sivia keras saat jarak kami benar-benar jauh.

Aku meronta. Mencoba melepaskan diri dari 5 orang bertubuh kekar yang tak kukenali siapa karena seluruh wajah mereka terhalangi kedok hitam. "Lepaskan aku!!" teriakku memaksa. " Siviiiiaaa!"

Salah satu dari mereka membekap mulutku agar diam. Aku terus diseret paksa hingga tak kulihat lagi sosok gadisku―Sivia. Bekapan orang itu sangat kencang. Belum lagi tangan kekarnya menghalangi hidungku sehingg aku kesulitan bernafas. Semakin kumeronta semakin kuat cengkraman 2 orang lainnya yang memegang tanganku. Dan rasanya sangat sakit.

"Hmmpptt... hmmpptt" aku meronta semakin hebat saat kelima orang itu menyeretku menuju jurang, hendak menjatuhkanku.

Tanpa kata. Tanpa tanya dan tanpa kompromi mereka melemparku. Mendorong tubuhku hingga terjun bebas ke jurang yang dalam. Semak belukar menggores tubuhku. Aku tak mengerti. Siapa mereka? Apa mau mereka? Aku sungguh-sungguh tidak ingat apa-apa tentang mereka.

Kupejamkan mataku. Masih terasa goresan-goresan di sekitar tubuhku. Tangan, wajah, kaki, dada, pinggang dan perutku menjadi mangsa ranting-ranting tajam semak-semak itu. Darah mengalari di sekujur tubuhku hingga akhirnya aku terhempas di dasar jurang. Mataku tak ingin kubuka. Sakit disana-sini. Dadaku yang paling sakit. Aku kesulitan bernafas. Detakan jantungku berpacu dengan cepat. Dan itu menyakitkan. Nafasku timbul tenggelam.

"Alvin! Kamu kenapa sayang?"

Suara itu. Suara lembut itu, terdengar jelas di telingaku. Tapi sakit ini sama sekali tak bisa diajak kompromi. Suara lembut itu tak bisa mengobati sakit ini.

"Alvin bertahanlah!"

Aku tak sanggup lagi. Dadaku sakit sekali. Paru-paruku sudah tak sanggu bekerja lagi. Terlalu sakit. Sangat sakit jika harus dipaksakan. Wajahku perih. Kepalaku seperti dihantam berkali-kali. Dan secara pelan-pelan detakkan jantungku menghilang. Hilang. Benar-benar hilang.

Sampai akhirnya aku merasakan sentuhan. Sentuhan yang cukup kuat di dadaku. Sentuhan yang sesaat saja mengembalikan detakan jantungku. Meski pelan. Pelan sekali! Ada setitik celah yang membuatku bisa bernafas. Dan itu hanya sedikit. Sedikit sekali! Kurasakan juga beberapa benda kecil menembus kulitku. Membuat sakit ditubuhku perlahan-lahan menghilang.

*

Aku masih terdampar entah berapa jam dan berapa hari lamanya. Dan aku masih tak sanggup membuka mataku meski sebenarnya aku merasakan kehadiran seseorang di sampingku. Aku merasakan seseorang mengelus lembut tanganku. Menyentuh halus wajahku dan membelai manja kepalaku. Aku ingin membuka mata. Aku ingin tahu siapa orang di sampingku ini. Tuhan tolong! Berikan aku kekuatan untuk ini.

"Alvin! Buka matamu sayang...!"

Aku menarik nafas dalam-dalam. Otakku bekerja keras mengintruksikan syaraf mataku agar terbuka. Sangat sulit.

"Alvin.."

Suara itu kembali terdengar. Kali ini aku merasa si pemilik suara itu mengecup keningku. Siapa? Siapa dia? Izinkan aku membuka mata, Tuhan! Aku ingin tahu siapa dia. Siviakah?

Dengan kekuatan ekstra, aku memaksa mataku terbuka. dalam satu sentakkan kubuka mataku. Dan sukses membuat syaraf dalam otakku menegang dan sakit. Kepalaku sakit. Sungguh sakit.

"Aaaarrgghhh!" aku mengerang.

"Alvin! Ya Tuhan kamu kenapa?"

Orang itu. Aku dapat melihat orang itu. Wanita paruh baya yang saat ini memasang wajah panik dan cemas. Orang itu―ibuku. Dan ruangan ini. Aku kenal jelas. Ruangan yang seminggu yang lalu kumasuki sampai akhirnya aku tak ingat apapun.

"Alvin!" panggil ibu, memencet tombol hijau beberapa kali hingga tim dokter masuk ke dalam ruangan. Memeriksa keadaanku. Sempat terenyuh ketika jarum suntik menembus kulit lenganku. Sakit namun cukup ampuh menghilangkan sakit di kepalaku. Dan semuanya kembali gelap.

*
"Setelah kondisinya yang down beberapa hari kebelakang, ini merupakan kemajuan besar. Keajaiban juga Alvin bisa sadar kembali. Mengingat jarang sekali hal ini terjadi. Setidaknya ia sudah melewati masa kritisnya."

"Lalu bagaiman dengan penyakitnya dok?"

"Alvin bisa melanjutkan pengobatannya setelah keadaannya berangsur pulih."

Percakapan itu. Percakapan antara dokter dan ibuku berhasil membangunkanku yang entah berapa jam tertidur setelah dokter menyuntikan sesuatu padaku.

"Saya permisi.." dokter meninggalkan ruangan. Ibu menghampiriku.

"Alvin!" panggilnya memelukku.

"Apa yang terjadi denganku?" desahku parau.

Ibu melepaskan pelukannya. Menatapku dan mengelus kepalaku lembut. "Kamu koma 2 minggu ini, sayang. Penyakitmu sudah terlalu parah."

"Ibu, Sivia mana?" tanyaku.

Ibu mengerutkan kening bingung. Ia memelukku kembali. "Sudah ya Al! jangan ingat-ingat Sivia lagi. Dia sudah tiada beberapa tahun lalu. Kecelakan sudah merenggut nyawanya. Kamu ingatkan Al? Ibu mohon jangan memperparah penyakitmu dengan terus-terusan mengingatnya!"

Aku tertegun. dan Aku mulai mengerti. Tentang Sivia yang kemarin-kemarin menemaniku. Tentang kenapa aku seperti orang amnesia. Aku ingat dan aku tahu semuanya.

Total Tayangan Halaman

Yuukk follow me!

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto Saya
Nae
bandung, jawa barat, Indonesia
Lihat profil lengkapku

i crazy with this song