Rabu, 04 April 2012

0

Berputarlah!_sekuel I Remember it (cerpen)

*

BRAKK!

Secara tiba-tiba kamera SLR yang sedang kupegang jatuh begitu tanpa diundang rasa sakit yang luar biasa menyerang kepalaku. Secara repleks tanganku meremas-remas kepalaku dan tak mempedulikan benda apa yang sedang kupegang. Meski camera kesayanganku sekalipun!

Aku tertunduk lemas di atap rumah sakit ini. Memory itu. Tereply kembali. Memaksa otakku flashback ke masa itu. Dan kepalaku selalu terasa sakit tiap kali ini terjadi.

*

Kincir-kincir bambu itu berputar, berputar dan berputar di tengah padang rumput hijau setinggi lutut. Menuruti perintah sang angin yang tiada henti menghantamnya. Terkadang pelan, terkadang cepat. Layaknya waktu yang tak ingin berkompromi. Ia selalu terasa cepat berlalu setiap kali kebahagiaan berpijak di puncak hati. Dan begitu lamban ketika nestapa membelenggu jiwa. Waktu memang egois! Sungguh egois!

Gadis itu duduk manis di samping anak laki-laki berwajah oriental―Alvin. Memeluk lengan Alvin erat seolah pemuda itu tak boleh sejengkalpun beranjak dari sisinya. Tak ada pemandangan khusus yang harus mereka tonton saat ini. Hanya puluhan kincir-kincir bambu yang berdiri tegak di sekitar mereka yang mereka nikmati. Namun semuanya terasa istimewa. Karena mereka lewati berdua. Hanya berdua.

"Berputarlah! Berputar dan berputar. Jangan berhenti sampai kusuruh kau berhenti. Karena kau indah dengan putaran khasmu." Sivia mengangkat lengan kirinya. Mengarahkannya pada salah satu kincir yang jaraknya cukup jauh dari mereka. Kincir itu terlihat kecil dan Alvin tak lagi melihat kincir itu karena telapak tangan Sivia menghalanginya.

"Berputar karena aku suka melihatmu berputar. Berputarlah dan terus berputar. Karena dengan berputar aku kan tahu ada masih ada kehidupan disana!" Sivia mengubah bentuk jari tangannya membentuk huruf C.

Alvin tersenyum dan mulai mengangkat lengan kanannya. Membiarkan jari-jarinya membentuk huruf yang sama. Sejurus kemudian ia menyatukannya dengan tangan Sivia. Dan tampaklah dihadapan mereka lambang-yang-orang-bilang-lambang-cinta, dengan di tengah-tengahnya sebuah kincir yang tengah berputar.

"Lambang ini akan tetap ada meski kincir itu tak lagi berputar." Ujar Sivia menatap Alvin.

Alvin tersenyum kembali sembari menurunkan tangannya dan memeluk Sivia erat. Sivia membalas pelukannya. "Aku sayang kamu!" ujar Alvin mendaratkan kecupannya tepat di ubun-ubun kepala Sivia. Menikmati waktu yang sangat singkat itu untuk merasakan tiap denting-denting keputus asaan.

*

Ia rindu tempat ini. Ia rindu suasana ini. Dan ia rindu bola berwarna orange ini. Sudah hampir 3 bulan tak ia sentuh bola itu. Dan saat ini merupakan kebahagiaan tersendiri untuknya bisa merasakannya lagi. Berkumpul bersama ketiga temannya. Mendrible bola, berlari, mencetak angka dan tertawa bersama. Betapa ia merindukan suasana ini. Dan ia tak peduli dengan tatapan cemas dari ketiga temannya itu.

"Udahan ah, Al! Aku capek.." Rio duduk di tengah lapang. Ia memandang Alvin dengan tatapan agar Alvin mau mengikutinya.

"Aku juga!" sambung Cakka bersandar di tiang ring.

Alvin memandang mereka bergantian dan kemudian stuck pada Iyel yang juga akan mengakhiri permainan. "Yah, ayolah! Aku masih mau main tahu. Payah deh kalian!" protesnya sebelum Iyel membuka mulut untuk mengakhiri permainannya juga.

Iyel mendesah. Menatap Alvin dengan tatapan agar Alvin mau berhenti main. "Udah ya Al! Nanti kamu pi..."

"Ya udah kalau kalian gak mau main lagi" ketus Alvin memotong ucapan Iyel yang sudah mengarah kesana. "Aku main sendiri saja!" sambungnya sambil mengambil bola yang tergeletak di hadapannya.

Sesungguhnya ia tak suka berada di posisinya sekarang ini. Di-protect-in banyak orang, dilarang ini, dilarang itu hanya karena penyakit yang bersarang dalam tubuhnya. Ia tak suka hal itu. Meski sebenarnya ia lemah, ia tetap ingin bermain bersama mereka seperti dulu sebelum ia tahu ada penyakit dalam tubuhnya.

"Sory Al! Kita cuma khawatir" Tiba-tiba saja Cakka mengambil bola di tangan Alvin. "Ayo kita main lagi!" semangatnya disusul anggukan setuju dari Iyel dan Rio.

Alvin tersenyum dan mengangguk semangat. Meski raut wajah kecemasan masih nempel di balik wajah Iyel, Rio dan Cakka, Alvin tetap bahagia dengan ini. Mengingat sudah lama tak ia rasakan moment-moment seperti ini.

Dan mereka larut dalam tawa untuk sepersekian menit, sampai Alvin merasa seseorang memegang tangannya dan menarikku menuju pinggir lapangan.

"Berhenti melakukan hal bodoh, Alvin!" perintah orang yang baru saja menarik tangan Alvin. Dia Sivia.

"Kenapa Vi? Sebentar saja!" Alvin menatap Via lekat-lekat. Meyakinkannya bahwa dia baik-baik saja.

PLAK!

Sesaat saja Alvin merasakan hawa-hawa panas di sekitar wajahnya. Tanpa alasan yang jelas Sivia menamparnya. Alvin memegan wajahnya. Tak mengeqti dengan aksi Sivia ini. Sepintas Alvin melirik ke arah Rio, Cakka dan Iyel yang menghampinya. Masing-masing dari mereka memasang wajah bingung sepertinya.

"Aku kecewa sama kamu. Kecewa banget! Sekarang coba kamu fikirkan. Bagaimana kamu bisa sayang sama aku kalau menyayangi diri kamu sendiri saja kamu gak bisa!"

"Via, aku hanya bermain sebentar! Coba kamu lihat aku!" Alvin memegang bahu Sivia. memaksanya menatap wajahnya. "Aku baik-baik saja kan?" tanyanya meyakinkan.

"Bukan itu Alvin! Bukan itu yang aku maksud." pekik Sivia meronta melepaskan cengkraman Alvin. Iyel berusaha menenangkannya. Sedang Cakka dan Rio sudah berdiri mengapit Alvin. Takut terjadi sesuatu yang tak diinginkan.

"Apa Via? Aku tak mengerti!" Alvin menaikan intonasi suaranya. Sedikit membentak Via.

"Apa maksudmu meninggalkan Chek-up sebulan ini? Apa maksudmu membuang semua obatmu? apa maksudmu marah-marah pada ibumu agar ia tidak menyuruhmu ke Rumah sakit lagi? Apa maksudmu Al? Menyakiti dirimu sendiri? Bunuh diri? Kamu bodoh Alvin! Aku benci kamu!"

Alvin terdiam. Rentetan pertanyaan Sivia seperti soak-soal ujian yang paling sulit. Ia tak bisa menjawab semuanya. Alvin melihat tubuh Via bergetar. Sivia menangis. Entah ke berapa kalinya Sivia menangis karenanya. 'aku memang orang yang paling bodoh yang bahkan tak mampu sekalipun membuatmu bahagia, vi!' batin Alvin pilu.

"Aku hanya takut sesuatu yang buruk terjadi padamu. Aku taku kamu kesakitan lagi. Aku takut Alvin. Aku gak ingin kamu..."

"Ssttt" Alvin memotong Ucapan Via. Tak kuasa mendengar isak tangis gadis itu. "Maafkan aku! Aku janji tidak akan mengulanginya kembali." sambungnya hanya sekedar menenangkan Via. Bahkan ia tak taku apa ia bisa jika harus mengkonsumsi obat-obatan itu lagi. Apa ia mampu menahan sakitnya suntikan-suntikan itu. Dan apa ia sanggup menerima kenyataan pahit bahwa penyakitnya tak urung membaik? Entahlah!

*


Alvin memegang tangan Via erat. Menyusuri lorong-lorong rumah sakit. Setelah beberapa jam yang menyiksa di ruang pemeriksaan. Akhirnya ia bisa keluar juga dari ruangan itu. Kembali menatap Sivia yang selama beberapa hari ini menemaninya control ke rumah sakit.

"Bagaimana Al? Apa ada perkembangan?" tanya Sivia menatap Alvin serius. Berharap ada jawaban yang cukup baik dari hari-hari sebelumnya.

Alvin tersenyum sambil mengacak-ngacak foni Sivia. "Mau tahu aja deh kamu!" Candanya sambil merangkul Via.

Sivia memajukan bibirnya cemberut. Tidak puas mendengar jawaban Alvin, ia mendesah berat sambil membenarkan foninya. Ia tidak ingin memprotes Alvin kali ini. Karena ia tahu jika Alvin seperti itu, maka tidak ada perkembangan yang baik dari kesehatannya.

"Aku ingin menghabiskan waktu bersamamu hari ini. Mau ya?" ajak Sivia saat ia dan Alvin masuk ke dalam mobil.

Alvin tersenyum lagi. Aneh dengan ajakan Via."Hm, baiklah. Setiap haripun tak masalah untukku." Jawabnya menstarter mobilnya.

"Al..." panggil Via lagi.

Alvin menoleh. Via tengah tersenyum padanya dan beberapa jurus kemudian Via menempelkan bibir tipisnya di pipi Alvin yang langsung memerah. "Jangan pernah mencoba beranjah dari sisiku. Untuk hari ini saja, aku ingin selalu bersamamu."

Meski terkesan agak aneh. Alvin mengangguk mengiyakan. Ia mengelus kepala Sivia sebelum mengemudikan mobilnya. "Kita ke tempat faforit kita ya?" ajaknya.

Sivia mengangguk semangat. Lagi pula ia kangen dengan tempat itu. "Sebelumnya kita ke toko mainan dulu!"

"Siip!"

*

Sivia berputar-putar di tengah padang rumput itu. Berputar layaknya kincir bambu. Berputar dan berputar. Tertawa lepas dan sesekali berteriak bebas. Ia bahagia dan sungguh-sungguh bahagia. Gelembung-gelembung kecil berbentuk bulat berterbangan di sekitarnya.

"Lihat Al! Gelembungnya banyak banget ya?" Sivia berhenti sejenak menatap Alvin. Kemudian berputar menyuruh sang angin meniup gelembung sabun yang menempel di balik lingkaran kecil di tangan kanannya hingga membentuk bulatan-bulatan bening kecil yang lucu.

Alvin tersenyum melihat pemandangan indah itu. Sesekali ia membidikkan lensa kamera SLR-nya yang sengaja ia ambil, ke arah gadis itu. Dan ia ikut tersenyum meski kerap kali rasa sakit berdenyut di kepalanya―tidak terlalu parah memang. Hanya sebentar datang dan sebentar hilang.

"Alvin! Ayo berputar bersamaku!" teriak Sivia masih terus berputar.

Alvin hanya menanggapi ajakan Via dengan senyuman tipis. "Berhentilah Via! Nanti kau pusing." Perintah Alvin masih fokus pada kameranya. Ia duduk bersila diantara rumput-rumput hijau itu.

"Hei, aku mencintaimu!" Tutur Sivia yang sudah duduk di samping Alvin sembari meniupkan gelembung-gelembung sabun itu ke arah Alvin.

"Aku juga mencintaimu!" Alvin mengarahkan cameranya ke arah Sivia. Mengambil gambar gadis itu.

"Aku seperti foto model saja setiap kali kau bawa camera."

Alvin terkekeh. Ia merangkul Via. "Kau model tercantik yang selalu ada di hatiku!" bisik Alvin pelan. Tepat di telinga Sivia.

Via hanya menunduk. Tersipu malu. 'gombal' fikirnya.

*

"Alvin! Aku bilang berhenti. Berhenti!" Pekik Sivia panik saat melihat Alvin yang sudah kehilangan konsentrasi pada kemudianya saat mereka berada dalam perjalanan pulang.

Alvin berniat menginjak rem. Namun entah kenapa kakinya tiba-tiba terasa lemas. Tangannya susah digerakan. Ia merasa syaraf otaknya terputus dan tak bisa mengintruksikan anggota tubuhnya yang lain untuk bergerak.

"Arrggh Via! Kepalaku sakit!" Histeris Alvin memegang kepalanya erat. Sementara mobil masih melaju.

Via panik sendiri. Dengan terpaksa ia mendekat ke arah Alvin. Kakinya berusaha mencari-cari dimana letak pedal rem. Dan ia menginjak bagian yang ia yakini itulah pedal rem. Berhasil. Mobil berhenti.

satu detik..

dua detik..

tiga detik..

BRUUUAAKK !

Sesaat mobil yang mereka tumpangi terdorong ke depan. Entah berapa kilo meter dari tempat kejadian. Sebuah tanki air yang sedang melaju cepat menabrak mobil Alvin yang memang berhenti di tengah jalan.

Sepintas Via menyadari keadaannya terbalik. Setelah entah berapa kali mobil itu berguling-guling, akhirnya berhenti juga dalam keadaan terbalik.

Ia mencari Alvin dengan sudut matanya. Tak ada. Alvin sudah terpental jauh dari jaraknya sekarang, tubuhnya keluar dari kaca depan yang sudah pecah. Dan dengan sisa tenaga yang ada Sivia berusaha membuka pintu. Tidak bisa. Sudah terlalu banyak darah yang keluar dari tubuhnya. Sehingga darah yang keluar dari tubuhnya sehingga perlahan-lahan kesadaran itu menghilang dan...

Seketika sebuah warna orange bercampur merah, biru dan kuning disertai bunyi ledakan yang maha dahsyat terdengar memekakan indera pendengaran di seluruh penjuru jalan itu.

Mobil Alvin meledak. Dan Via masih berada di dalamnya!

*

Aku semakin menguatkan cengkraman tanganku. Aku tak bisa menghentikan sakit ini. Setetes air mata terhempas di wajahku. Tak kuasa lagi kumenahannya. Memory itu benar-benar menyiksa! Kenapa 
aku harus mengingatnya? Kenapa aku selalu ingat itu!

Aku merasa seluruh objek disekitarku berputar, berputar dan berputar layaknya kincir-kincir bambu. Semuanya buram hingga akhirnya gelap. Benar-benar gelap!

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

Yuukk follow me!

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto Saya
Nae
bandung, jawa barat, Indonesia
Lihat profil lengkapku

i crazy with this song