Rabu, 09 November 2011

0

Saat Geaografi Berbicara Cinta (cerpen)

“Cinta itu tidak mempedulikan jarak. Seberapa hebatpun W.J Really mengemukakan teori kekuatan interaksi antar wilayah satu dan yang lainnya dengan rumus gravitasinya. Ia belum tentu mampu mengukur  seberapa kuat interaksi antar hati yang sudah tertambat satu sama lain meski dalam jarak yang begitu jauh”


***
Aku tersenyum melihat rangkaian kata yang terukir manis di belakang buku geografi yang sedang kugenggam. Kata-kata yang terakhir kali ia katakan. Dia yang membuat aku larut dalam sejuta penyesalan yang tiada ujung. Membuat aku lemah dan tak jarang membuat air mataku tumpah saat mengingatnya. Dia dan selalu dia yang kerap kali memenuhi setiap rongga dalam hatiku.
Aku memggerak-gerakan jari jemariku. Mulai menghitung mundur dan mengingat kejadian tiga tahun yang lalu dengan dia yang kini membekas menjadi sebuah kenangan.

***

“Ashilla!”
Panggilan itu. Panggilan yang cukup keras namun lembut, tiba-tiba mengusik indera pendengaranku dan sedikit menggangguku yang saat itu sedang terjun kea lam bawah sadarku yang teramat dalam.
Aku membuka mataku dan mengerjap beberapa kali. Aku tahu saat itu semua mata telah terfokus ke arahku. Setelah mengamati keadaan sekelasku, aku mengalihkan pandanganku pada sesosok mahkluk yang menurutku tampan yang kini tengah berdiri di depan kelas. Memandagku dengan tatapan tajam tapi hangat.
“Hehe..maaf Pak!” Ujarku masih memandang pak Ifham, guru Geografi yang sangat aku idolakan.
Siapa murid yang tak mengidolakan guru idaman sepertinya? Selain baik, pintar, dan ramah, iapun tampan bak seorang pangeran yang tengah Tuhan turunkan di SMA-13  Jakarta ini.
“Shilla! Jawab pertanyaan bapak! Siapa Bintarto itu?” Pak Ifham maju beberapa langkah. Hingga ia berdiri tepat  di samping mejaku.
Aku tersenyum getir. Jujur aku tak bisa bicara dalam keadaan gugup seperti ini. “hmm..itu pak dia…seseorang..yang..apa?hmm..berpendapat bahwa…desa itu..terdiri dari… 3 unsur..”
Entah ilham darimana dan dari siapa aku menjawab pertanyaan Pak Ifham dengan sangat-sangat ragu akan kebenaran jawabanku. Karena yang aku harapkan adalah Pak Ifham cepat melangkah menjauihi mejaku dan berhenti memandangku . karena kau tahu? Itu membuat detakan jantungku berpacu cepat dengan irama yang sungguh-sumgguh tidak jelas.
“PR buat kamu! Siapa Bintarto itu?” katanya tegas dan berlalu meninggalkan tempatnya.
Aku menarik nafas lega. Kemudian memandang Alvin, teman sebangkku yang masih menggeleng-gelengkan kepala, heran melihat tingakahku yang hampir tiap kali bertemu dengan jam pemantapan geografi selalu sukses mendapat teguran dari Pak Ifham.
Dari dulu aku memang tidak suka dengan pelajaran geografi. Bagaimanapun tampang guru yang sengaja diciptakan untuk mengajarkan pelajaran itu, aku tidak akan pernah suka dengan pelajaran yang kebanyakan membahas ilmu bumi, kependudukan dan kewilayahan itu. Tidak akan pernah suka! Catat baik-baik itu!
“Jhahahaa…esok-esok bawa selimut sama bantal Shill..!” teriakan seorang siswa laki-laki saat Pak Ifham mengakhiri pelajaran tambahannya.
Dan saat itu pula ruangan bernuansa cream-coklat itu dipenuhi dengan gelak tawa anak-anak kelas XII IPS. Tawa yang mereka lontarkan untukku yang memang bodoh ini.
Alvin menepuk-nepuk pundakku pelan. Ia memang yang terbaik untukku. Ia tidak pernah menertawakanku, mengejekku, mengucilkanku atau hal-hal kecil apapun yang membuat aku merasa terpojok.

***
Sudah kesekian kalinya aku membolak balik buku geografiku, mencari jawaban dari PR yang yang diberikan pak Ifahm tadi. Tapi, sama sekai tidak kutemukan karena jelas sudah yang tadi aku katakan itu benar.
Aku melempar buku bersampul cream tua itu asal. Merutuki diriku sendiri. Apa aku bilang? geografi itu nyebelin dan menyusahkan. Aku menghempaskan tubuhku di tempat tidurku. Menatap layar ponselku yang gelap. Aku menekan salah satu dari tombol di ponselku. Menyala. Dan aku tersenyum begitu melihat sosok itu tengah menjadi wallpaper handphoneku.
Ya! Siapa lagi kalau bukan wajah tampan pak Ifham yang sedang aku tatapi kali ini? aku tertawa sendiri mengingat begitu bersusah payahnya aku mendapatkan photo itu. photo yang diam-diam aku curi ketika ia sedang menerangkan pelajaran geografi tentunya. photo yang berhasil membuat aku mendapat bejibun teguran karena saat aku mengambilnya sound effect camera handphoneku lupa aku off-kan.
Aku tehenyak begitu merasakan ponseku bergetar dan mengganggu euforiaku. kutatap baik-baik layar ponselku. Berharap Pak Ifahm menelphoneku dan memberi bocoran atas PR yang ia berikan. Ok! itu mustahil.
"Ya hallo!" kataku begitu ponsel tengah berada di dekat telingaku. "ada apa Vin?" Tanyaku pada lawan bicaraku. Ya! Alvinlah yang menghubungiku kali ini.
"Ngga ada apa-apa Shill.. pengen hubungi kamu aja."
Aku menaikan satu alisku, heran. tidak biasanya Alvin menghubungiku. bahkan ini baru pertama kalinya ia telphone aku untuk hal tidak penting seperti ini. Biasanya Alvin menghubungiku untuk menanyakan buku-buku pelajaran yang sering aku pinjam kerena sering ketinggalan mencatat
"Oh.." responku pendek.
Hening. tanpa suara. membuatku bingung sendiri. ngapain Alvin membubadzirkan waktu dan pulsa hanya untuk diam seperti ini? tapi tetap saja aku bertanya-tanya dengan sikap alvin ini.
           " Eh Vin!" aku kembali memulai pembicaraan hanya untuk mencairkan keheningan ini "Bintarto itu siapa sih? Perasaan tadi jawabanku benar deh." tanyaku begitu nama Bintarto melintasi syaraf-syaraf otakku.
          "Geograf Shill!" jawab
Alvin.
          Aku berfikir sejenak "Lho..?"
          "Iya geograf! Kalau Pak Ifham nanyain apa teori Bintarto, maka jawaban kamu tadi benar."
          Aku tertegun. Kenapa aku tidak berfikir seperti
Alvin? Ahh.. Kenapa pula Alvin tidak memberikan tanda orientasi padaku tadi?
          "Lagian itu pertanyaan mudah Shil! Tadikan kita sedang belajar geografi bukan sosiologi. Kalau kita sedang belajar geografi berarti orang yang disebut itu ya tak lain tak bukan adalah seorang geograf bukan sosiolog."
          Untuk kedua kalinya aku dibuat diam oleh
Alvin. Kenapa aku tidak bisa seperti Alvin yang berfikir sampai kesana? Seandainya aku ada di posisi Alvin pasti Pak Ifham akan begitu bangga padaku.

***
Desahan nafas yang tak beraturan, detakan jantung yang sulit dinetralisirkan, cucuran keringat yang terur mengalir dari setiap pori-pori tubuh, kini benar-benar menyergap diriku.
Bayangkan saja! Aku berlari dalam jarak 5 km tanpa henti. Ya, aku bangun kesiangan! Ini hasil nekatku menantang Alvin melanjutkan pembicaraan via-telephone sampai pukul 4 subuh tadi malam. Dan bodohnya lagi aku lupa jam pertama kelas XII IPS 3 kali ini adalah pelajaran Geografi.
Setelah berhasil mengembalikan keadaanku seperti semula, aku membuka pintu kelas dan berjalan ke arah meja Pak Ifham.
"Maaf Pak aku..hh..kesiangan.." laporku dengan nafas terengah-engah. Tak berani menatap Pak Ifham yang saat itu begitu asyik dengan bukunya.
"Istirahat nanti temui Bapak di kantor! Duduk!" perintahnya tanpa menoleh sedikitpun ke arahku.
Aku mendengus kesal karena ia tidak memandangku seperti biasanya saat aku sedang melakukan kesalahan. Aku berjalan menuju mejaku dengan tatapan-tatapan aneh dari seluruh makhluk di sekitarku yang mengiringinya. Aku memandang Alvin yang rupanya sok pura-pura sibuk membaca padahal matanya terpejam begitu aku duduk di sampingnya.
Aku terkikik pelan melihat wajah Alvin. Rupanya anak pintar ini bisa juga ya tidur di kelas saat jam pelajaran? Tanpa sadar ak terus menatap wajah oriental itu. Ternyata kalau tidur Alvin manis juga. Sekilas aku memandang Pak Ifham yang tengah asyik menerangkan teori-teori para geograf tentang Interaksi Wilayah Kota dan Desa yang jujur sama sekali tidak kumengerti, kemudian menatap Alvin lagi dan itu aku lakukan berkali-kali hanya untuk melihat siapa yang paling tampan diantara guruku dan sahabatku itu.

***

"Shilla! Kata Pak Ifham segera ditunggu di kantor" seorang siswa perempuan tiba-tiba menghampiriku yang sedang asyik meluk-meluk tiang beranda kelas sambil ngobrol gak jelas dengan Alvin.
Aku menepuk jidatku pelan."Sumpah aku lupa Vin!" kataku sambil berlari meninggalkan Alvin yang masih duduk di lantai kelas dengan muka bingung karena tidak tahu menahu soal ini.
"Maaf Pak!" ucapku begitu nyampe di kantor dan berdiri tegak di hadapan Pak Ifham.
"Duduk!" perintahnya.
Aku duduk di kursi yang berada tepat di hadapan mejanya. Aku akui jarak kami saat itu begitu dekat, hanya terbatas oleh meja berukuran beberapa jengkal. Sekilas aku memandang wajahnya. Tak lama setelah itu aku menundukan kepala. Karena bagaimanapun juga semakin lama aku menikmati pesona indah itu, semakin liar rasa aneh yang sebenarnya tak terdeteksi oleh akal fikiranku.
"Sudah berapa kali kamu melakukan kesalahan??" kata Pak Ifham dengan nada tinggi tapi halus.
"Hmm..berapa ya? Dua, empat, tiga, tujuh.." layaknya seorang anak kecil aku mengacung-ngacungkan jariku untuk berhitung.
"Pertama, kamu datang telat ke kelas saya. Kedua, kamu telat menemui saya disini. Ketiga, kamu tidak memperhatikan pelajaran saya dan malah asyik memperhatikan Alvin. Kenapa? Kamu suka padanya?"
Aku diam tanpa kata. Kenapa Pak Ifham memberikan pertanyaan aneh seperti itu?
"Baiklah Ashilla Zahrantiara..! Kenapa kamu selalu membuat kesalahan di jam saya?" melihat aku diam seperti tadi, akhirnya Pak Ifham memberi pertanyaan baru.
"Karena aku tidak suka pelajaran geografi. Dan kenapa pula Bapak tidak menghukumku saat aku melakukan kesalahan! Membersihkan kamar mandi misalnya? Skorsing, hormat bendera, atau apapun sehingga dengan bebas aku bolos mata pelajaran geografi."
Entah karena kesal atau ingin masalah ini cepat selesai, aku dengan sangat polosnya menjawab pertanyaan Pak Ifham..
"Kau ingin aku menghukummu? Baiklah, terus apa jawaban PR yang saya berikan kemarin di kelas pemantapan?"
"Geograf..!"
"Darimana kau menemukannya?"
"Alvin.."
Pak Ifham menarik nafas panjang melihat tingkah polosku "Dengarkan saya Shilla..! Sebagai hukuman saya tugaskan kamu belajar geografi dengan Alvin dan mau tak mau kamu harus mendapatkan nilai paling besar di UN nanti.."
"Lho Pak? Tapi.. Aku.."
"Baiklah kembali ke kelas kamu!"
Aku berdiri dari dudukku. Dengan rasa kesal yang berlipat ganda aku meninggalkan kantor. Sekilas aku melirik Pak Ifham yang tersenyum puas. Rasanya ada rasa senang yang bercampur dengan rasa kesalku saat melihat senyuman itu.

***
Pandanganku terfokus pada barisan nama yang terpampang dari A sampai Z di mading sekolah saat ini. Memastikan nama Ashilla Zahrantiara sejajar dengan kata lulus.
"Alviinn! Aku lulus Vin..aku lulus..!!" tanpa sadar orang pertama yang aku sebut saat namaku terpampang dengan keterangan lulus adalah nama orang yang kini tengah berdiri di sampingku.
Aku memandang Alvin yang masih bergeming. Pandangannya masih tertuju pada kertas itu. Melihat raut wajah Alvin yang sepertinya tenggelam dalam nestapa, aku mulai mencari nama Alvin diantara nama-nama lainnya.
Telunjukku berhenti pada satu nama, Alvin Jonathan Sindunata. "Ada apa Vin? Kamu lulus.. Kok sedih sih?"
"Aku gagal Shil.."
Aku memandang Alvin bingung.
"Nilai geografiku lebih besar dari kamu. Itu artinya aku gagal mengerjakan tugas Pak Ifham"
"Ahh Alvin! Kau tak perlu pedulikan itu..! Yang terpenting kita sudah berusaha. Dan aku memang tidak akan pernah bisa mengungguli kamu. Alvin Jonathan, si anak pintar!" kataku berusaha menghibur Alvin. Mau bagaimana lagi? Aku memang payah sama pelajaran geografi. Seorang Pak Ifham yang aku idolakanpun tak mampu membuatku menyukai pelajaran satu itu.
"Sudahlah Vin! Kau tak mau ikut berbahagia denganku? Ini seharusnya jadi hari bahagia kita setelah beberapa bulan kita larut dalam berbagai macam les, pemantapan, bimbel, try out. Ayolah! Aku saja tidak sebegitu kecewanya dengan nilai geoku." kataku memegang pundak Alvin dan mengarahkannya padaku.
Alvin tersenyum." maaf ya Shil..?!"
Aku membalas senyuman Alvin. Dan entah kenapa dan dorongan darimana tiba-tiba aku memeluk tubuh Alvin yang sepertinya kaget dengan tindakanku. Tahulah.. Yang pasti aku ingin kita saling mentransfer rasa bahagia yang tengah menjalar dalam setiap sendi tubuh kita.
"Ehmm.. Shilla..! Bisa ikut bapak sebentar!"
Dengan cepat aku menarik tubuhku saat mendengar suara seseorang menyapa telingaku. Dengan segera aku memandang orang yang kini berdiri di belakangku.

***
Pandanganku menyapu perpus kali ini. Buku-buku yang berjajar rapi di sekitarku kini menjadi pemandangan yang membosankan, karena aku yang tak suka dengan perpustakaan.
Hanya bunyi pulpen yang sengaja Pak Ifham ketuk-ketukan di meja perpus yang kini menjadi melodi khusus dalam adegan gak jelas antar aku dan Pak Ifham.
"Ini untukmu.."
Setelah sekian lama kami berdiam-diaman akhirnya suara Pak Ifham memecahkan keheningan.
Aku memandang Pak Ifham, lalu memandang cokelat yang tergeletak manis di hadapanku.
"Untukku Pa?" tanyaku memastikan.
"Sebenarnya Bapak berjanji mau memberikan hadiah untuk siswa yang berhasil mendapatkan nilai geografi paling besar. Hanya saja kamu tidak tahu karena telat masuk kelas Bapak."
Aku tertegun mendengar cerita Pak Ifham. Aku jadi heran plus bingung sendiri "maaf Pak! Tapi nilai geo yang paling besar itu, Alvin." kataku memberitahu.
"Alvin sudah mendapatkan bagiannya."
"Terus ini?"
Aku tidak tahu perasaan aneh apa ini. Tapi ada yang sangat berbeda dengan suasana perpus kali ini. Aku merasa atmosfir di ruangan penuh buku ini terasa menegangkan dan memberi sensasi kepenasaran dalam otakku.
"Shilla dengarkan Bapak! Dan kamu tak perlu berbicara disini..!"
Aku mengangguk dan diam.
"Maaf jika aku mengatakan ini padamu. Tapi aku ingin ini tersampaikan sekarang juga sebelum kamu pergi meninggalkan sekolah ini."
Aku masih diam. Rasa tegangku menjadi extra large bertumpuk dalam hatiku. Apa yang akan Pak Ifham katakan? Kenapa jantungku berdetak tak karuan seperti ini?
"Shilla! Aku berharap geografi tak membuatmu benci padaku. Karena sesungguhnya, geografilah yang menuntunku untuk mengenalmu lebih dekat hingga akhirnya aku menyukaimu, geografi telah mengajarkanku membuat peta untuk menemukan jalan menuju pintu hatimu."
Aku tercekat. Rasanya bagai ribuan tangan mencekikku. Dadaku sesak tertimbun ketidakkpercayaan yang maha dahsyat. Tidak! Geografi tidak pernah membuatku benci padanya.

"Maafkan aku Shilla..! Aku terlalu berani mengatakan ini. Tapi ketahuilah! Seberapa besarpun skala antara aku dan kamu, rasa itu tak terpungkiri dan tak bisa tertahankan. Dan saat ini aku sudah berada di depan pintu hatimu berusaha untuk masuk ke dalamnya. "
"A...aku...tapi..eng...kita.." aku gelagapan gak jelas.
"Shilla! Cinta itu tidak mempedulikan jarak. Seberapa hebatpun W.J reilly mengemukakan teori kekuatan interaksi antar wilayah satu dan yang lainnya dengan rumus grafitasinya, ia belum tentu mampu mengukur seberapa kuat interaksi antar hati yang sudah tertambat satu sama lain meski dalam jarak yang begitu jauh."
Seperti mengerti maksud hatiku yang mengatakan bahwa aku dan dia akan berpisah, kata-kata itu tiba-tiba meluncur dari bibir tipis Pak Ifham. Meyakinkan hatiku yang tetap dimunafikan oleh akal sehatku..
 Keadaan hening..
 Hening dan hening..

***

            Saat ini..
            Taman kota senja hari..

            "Shilla..!"
Aku terhenyak begitu merasakan kepala seseorang muncul di belakangku. Aku menutup buku geografi kelas XII ku tiga tahun yang lalu. Memandang Alvin yang sudah duduk di sampingku.
"Gimana risetnya Shill? Siap buat sidangkan?" 
Aku tersenyum dan memarkirkan kepalaku di pundak Alvin. Entahlah, setelah aku membaca kata-kata di belakang buku geografiku, rasanya hati ini pedih tak terkira. Aku menyesal dan sungguh menyesal. Ya! Waktu itu aku tidak menerima cintanya Pak Ifham, guru geografi yang aku idolakan. Padahal sudah jelas aku juga mencintainya.
"Vin ke SMA kita yu!" ajakku. "Rasanya aku kangen sekolah kita dulu. Sepertinya banyak berubah ya?" sambungku sambil mendongak memandang wajah Alvin, sahabat yang sudah menjadi milikku 2 tahun ini.
 Alvin tersenyum dan mengangguk.

***

Aku tersenyum melihat Alvin dan Pak Ifham tengah berjalan ke arahku. Tapi tunggu! Ada seorang perempuan yang berjalan di samping Pak Ifham. Siapa dia?
"Gimana kabarnya Shil?" tanya Pak Ifham saat mereka tiba di hadapanku.
Aku menjabat tangan Pak Ifham dan perempuan berjilbab di sampingnya.
"Baik Pak" ujarku tersenyum ramah.
"Oh ya Shil.. Kenalin ini istri Bapak! Maaf ya Bapak gak undang kalian ke pesta pernikahan Bapak satu tahun yang lalu. Habisnya Bapak tidak punya alamat kalian."
Aku tersenyum getir mendengar berita itu. Entah kenapa aku merasa ada yang tertancap kuat di relung kalbuku. Menorehkan luka yang begitu dalam dan dalam.
"Oh gak apa-apa Pak!" Alvin merespon ucapan Pak Ifham karena aku lebih asyik dengan kebisuanku "Ibu mengajar disini juga?" pertanyaan Alvin berlanjut
Wanita itu mengangguk "Iya. Saya guru geografi disini"
Aku memandang Pak Ifham. Pandangan matanya tetap sama seperti dulu. Ia memandang aku dengan tatapan anehnya tiga tahun yang lalu. Dan itu membuatku semakin sesak. Karena bagaimanapun perasaannya saat ini padaku, aku tetap tidak akan mendapatkan kesempatan untuk menyentuh hatinya.
“Hmm.. Vin! Pulang yuk!! Aku masih harus melanjutkan risetku.” Ajakku
Alvin mengangguk. Dan kami mulai bejalan meninggalkan SMA-13 itu setelah berpamitan kepada Pak Ifham dan isterinya.
"Peluk aku Vin!" pintaku saat aku dan Alvin sudah berada di dalam mobil Swift Silver milik Alvin yang terparkir manis di parkiran sekolah.
Alvin memandangku heran. Tapi kemudian ia menarik dan mendekapku erat di dadanya. Dan saat itu pula air mataku terjun bebas membasahi kaus hitam Alvin.
"Vin!" lirihku.
Seolah mengerti apa yang aku rasa, Alvin semakin menguatkan pelukannya. Membuat ai mataku menderas semakin hebat.
"Kenapa penyesalan selalu datang terlambat sih Vin?" tanyaku di sela isakanku.
"Karena agar kita berani mengambil keputusan terbaik Shil..." kata Alvin menarik tubuhku dari pelukannya kemudian menyeka air mataku. Aku bingung kenapa Alvin tidak menanyakan aksi menangisku yang sangat tiba-tiba? Sepertinya ia sudah tahu kenapa aku menangis. Dan aku tahu Alvin lebih terluka dengan sikapku ini.
"Maaf!" ujarku.

 Alvin tersenyum. Ia memelukku kembali. "Cintai geografi karena kamu ingin menguasainya, bukan karena geografi pernah menjadi sejarah indah dalam hidupmu karena itu akan melukaimu"
Aku diam dalam pelukan Alvin. Mulai mencerna kata-kata Alvin. Dan aku bertekad untuk melupakan segalanya. tentang ia, tentang Pak Ifham. Dan mulai meraih gelar sarjana geografiku dengan orang yang sedang aku cintai dan ada di sampingku kali ini, Alvin.


0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

Yuukk follow me!

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto Saya
Nae
bandung, jawa barat, Indonesia
Lihat profil lengkapku

i crazy with this song