Rabu, 03 Agustus 2011

0

Untuk Yang Selalu Ada


***

Aku hanya ingin kau tahu...
Tentang rasa yang tak kunjung memudar..
Untukmu dan selalu untukmu..

***

untuk kesekian kalinya aku menatap wajah itu lekat-lekat. Meski kau tahu? Ada rasa perih saat kupandang pesona wajah yang selama delapan tahun ini ada dalam setiap jalur hidupku.
Perih saat aku tahu. Dia, cinta monyet sekaligus cinta pertamaku lebih memilih sahabatku dibanding aku yang sudah berabad-abad mencintainya...
Namun bukankah hal egois jika aku meminta sababatku untuk menjauhinya dan memaksa ia mencintaiku??

[Flashback]

"Kau tahukan fy, cakka anak kelas sebelah?" Tanya Sivia temanku saat kita duduk bersama di meja kantin.

Aku mengangguk. Cakka, jelas aku kenal. Seseorang yang aku kagumi sejak aku duduk di bangku kelas 5 SD. Hingga saat ini, saat aku berdiri sebagai seorang yang berhiaskan putih abu, rasa kagum itu tetap ada dan perlahan menjadi rasa cinta dan sayang yang semakin nyata.

"Tahulah vi..! Dulu dia sekolah di SDN 1 yang letaknya disamping sekolah kita" jelasku mengingatkan.

"waahh... Teroyata kamu suka memperhatikan anak-anak SDN 1 ya dulu?" sivia menatapku dan mengingatkan aku kembali ke masa merah putih dulu.

Aku tersenyum. Tidak semua anak-anak SDN 1 yang aku perhatikan. Hanya dia, seorang cakka yang tiap hari sabtu berbaris dengan baju coklat pramukanya. Cakka,yang setiap berpapasan denganku selalu tersenyum. Hanya dia si ramah yang membuatku terlena karena senyumannya.

"Fy..! Eh malah ngelamun lagi" Sivia mengibas-ngibaskan tangannyadi hadapanku. Membuat nostalgiaku membuyar.

Kenapa Vi? Kenapa kamu nanyain Cakka?

"gak kenapa-napa.. Nanyain aja."

"oh.."

"iih oh doang lagi.."

"iya Sivia sahabatku yang paling baik, cantik, manis dan pintar " ujarku malas.

Sivia hanya tersenyum mendengarnya.

***

Aku tidak tahu, apa penyebab aku bisa duduk satu ruangan bersama Cakka saat aku dan dia menginjak kelas XII, yang pasti aku merasakan segelintir kebahagian bisa satu kelas dan bersahabat dengannya.

"Fy..!" panggil Cakka

Aku membalikan badan dan sudah melihat Cakka berlari ke arahku "kenapa?" tanyaku saat Cakka berhasil berdiri disampingku dan mengikuti langkahku

"hmm.. Kok gak sama-sama Sivia, Fy?" Cakka memberi pertanyaan balik.

"Katanya sih ada urusan dulu sama anak-anak English clubnya" jawabku sambil mengamati wajah orang yang kini berdiri disampingku

tidakkah kau tahu? Bahwa aku sedang larut dalam ketidakpercayaan yang maha dahsyat, karena bisa dekat dengan seorang Cakka dan bersahabat karib denganny.

"Fy! Ikut aku yu!" Ajak Cakka

aku mengalihkan pandanganku ke arah lain saat Cakka hendak memandangku "Kemana?" tanyaku

"Nemui Alvin" jawabnya

"Nggak ah.! Lagian ada urusan apa kamu sama si pangeran es itu?" kataku membayangkan sesosok Alvin yang dinginnya gak ketulungan.. Alvin, ketua osis yang multitalent dan jelas mempunyai banyak prestasi. Selalu berhasil mendapatkan juara olimpiade mata pelajaran eksak dari mulai tingkat daerah sampai internasional. Selain itu ia juga berperan penting di tim futsal sekolah yang digelutinya bersama Cakka.

" Sebentar saja. Temani aku ya?!" pinta Cakka lagi

Aku berfikir sejenak.. Tapi sebelum aku memberikan persetujuan, cakka sudah menarikku paksa menuju lapangan futsal indoor sekolah.

"Vin..!" Panggil Cakka begitu kami sampai di lapangan, menyaksikan permainan Alvin yang sedang menggiring bola sendirian.

Alvin menghentikan permainannya, segera meraih bolanya dan berjalan kearah kami "ada apa?"

"ini Vin aku mau ngenalin seseorang"

Seperti terjun bebas dari gedung-gedung beratus-ratus KM aku diam membatu, ada sedikit rasa kaget, heran, malu yang bercampur aduk dalam otakku. Apa yang Cakka lakukan? Mengenalkanku pada sesosok makhluk yang tidak pernah ingin aku kenal? Argh! Aku fikir, sahabatku yang satu ini memang sudah kehilangan ingatannya, bahwa sudah berpuluh-puluh kali aku mengatakan padanya kalau aku tidak suka dengan Alvin.Aku mengulurkan tanganku "Ify.." aku memandang Alvin yang memasang wajah tanpa senyum dan ekspresi, terlihat dingin dan tak bersahabat.

Alvin menjabat tanganku "Alvin.." ia segera melepas tangannya tanpa senyum sedikitpun membuatku ingin muntah melihatnya.

"Maaf!"

Tiba-tiba terdengar suara di ujung lapangan. Mengalihkan seluruh pandangan ke arah suara itu berasal. Dan Sivia sudah berdiri dengan setumpuk Map di tangannya, bersusah payah mendekati kami.

."Ify, bantu aku dong!"Pinta Sivia..

aku yang hendak melangkah menghampiri Sivia, tiba-tiba merasakan sentuhan di pergelangan tanganku.

"Biar aku yang membantunya" Bisik Cakka membuatku tiba-tiba merinding karena suaranya begitu jelas terdengar di telingaku..

Dan aku mulai diam. Menyaksikan adegan seorang cakka dan Sivia yang kini ada di hadapanku. Ada rasa cemburu saat aku melihat mereka dekat seperti itu. Tapi, dengan cepat aku menepis fikiran buruk itu, karena aku yakin apa yang Cakka lakukan kepada Sivia sama halnya dengan apa yang ia lakukan padaku.

"Mau di kemanain sih Vi?" tanya Cakka saat berhasil mengangkat arsip-arsip di tangan Sivia dan menyimpannya di bangku penonton.

"Mau dikasih ke ketua osis.." jelas Sivia menunjuk Alvin yang masih berdiri di sampingku

" itu tentang kegiatan yang sudah di lakukan anak-anak English Club"

Alvin masih diam. Tak merespon ucapan Sivia, ia memilih meninggalkan lapangan "Taruh di Ruangan Osis!" kata Alvin datar masih terus berjalan, membuat aku, sivia dan Cakka heran dibuatnya.

"ya.. Udah berat-berat aku bawa kesini.. Kirain Alvim mau membawanya.." keluh Sivia..Cakka tersenyum

"Gak apa-apa Vi.. Biar aku bantu" katanya sambil mengambil map-map itu kembali kemudian berjalan di samping Sivia tanpa menoleh sedikitpun ke arahku. Membuat aku kesal sendiri. Tadi dia memaksaku untuk ikut ke lapangan futsal ini.  Sekarang aku malah ditinggal sendiri. Tega sekali Cakka.

***

Aku pandangi orang-orang yang kini ada di hadapanku dengan malas. Suasana rumah Sivia yang biasanya sepi kini terlihat hidup karena kehadiran Cakka dan Alvin. Meskipun hanya Cakka dan Sivia saja yang mencairkan suasana.

"Makanya Fy, kamu ikutak ekskul dong!" Kata Cakka memojokanku. "Ikut jadi pengurus Osis tuh sama Alvin!" celetuknya membuatku mengalihkan pandanganku pada Alvin yang masih fokus sama buku kimianya.

Aku mendelik. " Idih nggak banget! Sampai dunia jungkir balik juga aku gak pernah ingin ikutan ekskul. Apalagi harus bareng sama APE!!!" cerocosku membuat Sivia dan Cakka heran.

"APE apaan sih Fy?" tanya Sivia

"Apin Pangeran Es yang dinginnya minus dari seribu derajat celcius.." ejekku membuat Cakka dan Sivia tertawa. Tapi Alvin? Apa aku bilang? Dia itu manusia es yang dinginnya minta ampun. Sampai-sampai ejekan aku aja dia cuekin.

Keadaan mulai hening.

Aku pandangi Sivia dan Cakka yang tampak sangat dekat dan akrab. Membuat aku jujur tak suka melihat pemandangan di hadapanku kali ini.
Jika harus mengutamakan keegoisan, aku menyesal telah memperkenalkan Sivia kepada Cakka jika pada akhirnya mereka akan sedekat ini dan membuat perhatiam Cakka beralih pada Sivia. Tapi, sahabat macam apa aku ini? Bukankah sekarang ini aku sedang berdiri diatas kemunafikan yang teramat tinggi??

"Iih Cakka! Will itu kalau pake not jadi won't." suara Sivia membenarkan.

Cakka menatap Sivia. Membuatku tiba-tiba saja merasa ada sesuatu yang panas menjulur hebat dalam tubuhku. Pandangan Cakka pada Sivia sama dengan pandanganku pada Cakka. Tidak! Aku yakin Cakka menganggap Sivia sama seperti  kepadaku, sahabat. Ya.. Hanya sahabat tak lebih dari itu...

"Vin!"

Entah kenapa tiba-tiba saja lidahku mengucapkan nama itu tanpa izin saat melihat Sivia dan Cakka semakin dekat. Apa mereka tidak sadar kalau ada aku disana?

Alvin menurunkan buku kimianya dan memandangku yang masih tak melepaskan bola mataku dari Cakka dan Sivia. "Apa?" tanya Alvin datar dan pelan tapi cukup terdengar jelas di telingaku.

Aku baru memandang Alvin saat mendengar suara itu. "Pulang yuk!" ajakku.

"Mau kemana sih Fy?" tanya Cakka yang rupanya mendengar ajakanku pada Cakka.

"Ya.. Mau pulang! Hm.. Aku pulang ya Vi?"

Tanpa menoleh sedikitpun ke arah tiga orang di hadapanku, aku keluar dari rumah Siuia.

Tak usah kau tanya apa yang aku rasa saat ini! Yang jelas api cemburu itu terus berkobar dalam hatiku. Hampir membuat seluruh syaraf dalam tubuhku melemah dan rapuh. Kedekatan Cakka dan Sivia berbeda sekali dengan kedekatanku dengan Cakka.

Aku terdiam. Berhenti berlari saat sebuah tangan menempel kuat di lenganku. Membuat aku membalikan badanku dan memastikan siapa pemilik tangan yang tanpa izin menyentuhku.

"Tadi kamu ngajak pulang bareng. Tapi maen ngeloyor aja!"

Tak ada ekspresi dariku. Aku menatap wajah itu lekat-lekat. Alvin dengan mata sipitnya memandangku heran. Ia terlihat sudah berlari jauh untuk mengejarku. Tapi, bukan hal yang sulit untuk seorang pemain bola sepertinya. Wajah oriental itu terlihat semakin bingung dan kalut saat untuk yang pertama kalinya melihat cairan bening turun membasahi pipiku. Kenapa? Kenapa harus di hadapan Alvin aku menangis? Tapi memang ini secara spontan. Rasa sakit yang ak fikir belum seberapa ini telah mewujudkan aliran air mata yang begitu deras.

Alvin yang masih memasang tampang so-coolnya, perlahan melepaskan genggaman tangannya dan mengajakku duduk di pinggir jalan.

Meski tanpa kata dan suara aku tahu Alvin ingin mencoba menenangkanku.. Dan aku merasa detik ini aku menjadi seorang yang diperhatikan. Perhatian yang belum pernah aku dapatkan meski itu dari sahabatku sekalipun. Dan untuk yang pertama kalinya aku mendapatkan perhatian itu dari seorang Alvin. Meski tidak dengan sepatah dua patah katapun.

***


Hari yang menyebalkan, menyesakan dan membuatku ingin berlari sekuat tenaga. Menghindari dunia nyata. Jika ujung dunia itu benar-benar ada aku ingin pergi kesana. Menjauhi segala yang ada di sekitarku saat ini. Menjauhi Cakka, Sivia, segalanya! Tak terkecuali.Lorong sekolah yang begitu sepi membuat derap kakiku terdengar sangat-sangat keras. Dan aku tidak peduli seberapa banyak makhluk yang terganggu karena itu.karna aku hanya ingin berlari dan terus berlari sampai kutemukan satu titik ketenangan.

"Aku mencintai kamu Vi!"

Ungkapan itu, ungkapn yang beberapa menit yang lalu diucapkan seorang Cakka kepada Sivia di kelas musik yang sempat kulewati, terus terogiang mengganggu telingaku, sontak membuat hati ini terasa ngilu dan perih.

BRUAKK!

Tiba-tiba saja aku merasakan benturan yang cukup keras mendarat di tubuhku, membuat aku dan orang yang aku tabrak terlempar jauh kearah yang berlawanan.

"Kau nangis lagi?"

Aku menunduk. Tak berani menatap orang yang kini berjalan mendekatiku yang aku tahu dia Alvin.

Ia mengulurkan tangannya, membantuku berdiri. Namun aku tak menerimanya langsung. Sehingga memaksa Alvin untuk mengangkat tubuhku agar berdiri tegak.

***

Aku tidak tahu kenapa Alvin mengajakku duduk di lapangan futsal kali ini. Padahal ia sendiri begitu sibuk dengan bolanya. Tanpa mempedulikan aku, aku yang saat ini sedang dikuasai kekecewaan yang begitu kuat.
Tahu Alvin akan nyuekin aku, kenapa aku harus ikut dengannya tadi? Kenapa aku tidak langsung pulang saja dan menenangkan diriku sendiri di kamar bersama dengan buku-buku dan penaku?

Satu hal yang membuatku merasa tidak pernah diperhatikan. Orang-orang tidak pernah tahu dengan hobiku dengan kesukaanku, dan mereka memang tidak pernah ingin tahu. Bahkan Sivia yang sudah lama bersahabat denganku tidak tahu aku mempunyai setumpuk buku-buku puisi yang isinya aku persembahkan untuk orang yang mencintainya.

"Vin...!" panggilku lirih.

"Ya!" respon Alvin singkat masih asyik dengan bolanya. Terkesan acuh dan tak peduli. Membuatku sebal dan berdiri dari dudukku
hendak meninggalkan Alvin.

"kemana?" Alvin berhenti memainkan bolanya saat aku melangkah beberapa langkah.

Aku memandangnya sekilas."Ya pulanglah! Lagian kurang kerjaan banget aku nontonin permainan bola kamu.."aku kembali melangkah meninggalkan Alvin

Tapi, tunggu! Kakiku tiba-tiba terhenti mendengar kata yang keluar dari bibir tipis Alvin.

"Jelas Cakka lebih memilih Sivia. Dibandingkan harus memilih kamu yang tak ada apa-apanya dibandingkan dengan Sivia."

Alvin melangkah maju mendekatiku. Berdiri di hadapanku, dan aku akui wajah kami saat itu sangat dekat. Sehingga aku dengan jelas melihat bulir-bulir keringat yang mengalir di pelipisnya. Untuk pertama kalinya, aku berani mengakui bahwa manusia es ini benar-benar tampak seperti pangeran tampan.

"Ka..kamu.. Mau..a..apa?" tanyaku gugup begitu tangan Alvin menekan tembok. Membuat aku yang saat itu bersandar di tembok tersebut takut dan panik dibuatnya.

"Sivia itu cantik, aktif, ramah, berprestasi, baik, dan tak aneh jika semua laki-laki mengaguminya. Termasuk Cakka."

Aku benar-benar membeku oleh ucapan Alvin.

"Lain dengan kamu.. Sangat-sangat berbeda 360 derajat. Dengar baik-baik itu, Ify!"

Entah energi negatif darimana, kekuatan dari siapa, aku mendorong tubuh Alvin berkali-kali lipat sangat kuat. Membuat tubuh itu benar-benar tersungkur. Membekaskan luka di lengan kanannya akibat gesekan yang begitu kasar dengan ujung tembok.

Tapi aku tak peduli. Benar-benar tak peduli. Luka itu tak seberapa dibandingkan dengan luka yang telah ditancapkan oleh beberapa kata yang ia ungkapkan.

Tanpd berfikir panjang aku segera berlari meninggalkan Alvin yang masih meringgis menahan sakit.

Rasa sakit itu, kini benar-benar berkembang biak dalam relung kalbuku. Selalu Sivia! Kenapa harus dia? Aku akui bahwa yang alvin katakan benar. Sivia cantik dan itu benar, lain dengan aku yang biasa saja. Sivia pintar, berprestasi dan selalu menjadi kesayangan guru-guru, tentunya setelah Alvin. Sedangkan aku? Orang-orang sama sekali tak mengenalku. Jangankan seorang guru. Teman sekelaspun acuh kepadaku atau bahkan mereka lupa aku ada diantara mereka. Sivia aktif di organisasi. Tapi aku? Tak ada satupun ekskul yang aku geluti dan sangat tepat jika aku bilang orang mengenalku karena ada Sivia di sampingku. Jika tanpa dia aku tak mungkin bisa dekat dan bersahabat dengan Cakka.
Aku mulai sadar Cakka mendekatiku hanya untuk bisa dekat dengan Sivia dan meraih cintanya.

'Kau benar Alvin! Kau orang terjujur yang pernah aku temui di dunia ini, dan kejujuranmu benar-benar membuatku sadar diri bahwa ak tak pantas berada di samping Sivia. Tapi tolonglah? Sedikit saja beri aku celah untuk menunjukan siapa aku ini.. Meski semua orang tidak akan pernah mengakui aku lebih baik dari Sivia...'

***

Aku lebih memilih kelas atas sebagai lokasi untuk menyendiri. Merasakan hembusan udara yang bergerak meniupku lembut. Perlahan sentuhannya membuatku tenang dalam buaiannya, dan di saat in ada satu insfirasi yang menggeliat hebat dalam otakku. Membuat tanganku bergerak lincah diatas kertas kosong bersama penanya.

Perlahan angin membawaku menari..
Bersama sisa pengharapan yang terlalu jauh..
Terlalu lama aku berdiri sebagai aku..
Menyisakan kepedihan yang menyiksa..
kepingan hati..
Membentuk namanya..
Membuat luka yang tergores makin dalam dan dalam..
Aku mohon. Dekap aku kuat!
Tuk sedikit merasakan kehangatan..
Meski sedetik di titik akhir.

"Fy!"

Seseorang memanggil namaku yang sontak membuatku memasukan kertasku buru-buru.

Aku memandang Cakka dan Sivia yang kini duduk di depanku. Tampak mesra dan serasi.

"3 hari kemarin kemana Fy?" tanya Cakka.

Aku tersenyum. Setidaknya Cakka masih peduli padaku. "Gak enak badan" jawabku bohong. Sebenarnya 3 hari yang lalu aku sedikit menghindar dari Cakka dan Sivia sehingga aku memutuskan untuk tidak masuk sekolah.
.

"Kok gak bilang sih Fy?" Sivia memandangku heran.

"hmm.. Lupa!" jawabku enteng.

"Padahakl kemarin pertandingan aku melawan SMA sebflah lho Fy. Dan kita menang, meskipun Alvin tepar pas babak 2 gara-gara luka di tangan dan kakinya." ujar Cakka menarikku paksa membayangkan sesosok Alvin. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba menyelinap masuk dalam tubuhku.

"oh ya Fy! Kita udah jadian lho.. Gimana? Cocokkan?" Sivia melingkarkan tangannya di leher Cakka. Membuat aku tiba-tiba lemah dan merasakan sakit di dadaku.

"Yang benar Vi? Wahh setuju banget! Selamat ya? Kalian memang serasi banget lho.. Cakka tampan kau cantik, Cakka pintar, kamu juga. Cakka aktif kamu tak beda jauh. Pokonya tnp deh..!" aku mengangkat ibu jariku."Oh ya.. Aku duluan ya Vi, Kka! Ada urusan yang haru aku selesaikn." tanpa memberikan kesempatan untuk berbicara kepada Cakka dan Sivia aku segera beranjak dan pergi dari tempat itu mencari tempat yang sepertinya lebih nyaman...

Aku berjalan menyusuri taman sekolah. Menemdang kerikil-kerikil kecil yang ada di sekitarku dengan pelan. Sebelum akhirnya langkahku terhenti begitu melihat sosok Alvin sedang duduk di pohon averhoa carambola.

Dengan ragu aku mendekati tubuh itu. Ia tampak fokus pada berbagai bukb di sekitarnya dan tak menyadari kehadiranku. Aku tidak tahu seberapa besar memory dalam otak manusia dingin itu? Sehingga ia bisa memasukan dan menyimpan berbagai mata pelajaran dengan baik di dalamnya. Lihat saja! Buku-buku di sekitarnya tergeletak dengan berbagai judul. Mulai dari buku-buku Kimia, Fisika,Biologi, Matematika, Sastra, belum lagi berbagai proposal dan laporan-laporan yang harus ia pelajari. Membuat aku berdecak kagum meskipun rasa tidak suka padanya masih tersisa dalam fikiranku.

"Alvin!" aku berdiri di samping Alvin.

Tanpa menoleh alvin dengan nada datar biasanya merespon ucapanku. "Ada apa?"

"aku..aku.." kataku terbata-bata. Sekilas kupandang lengan Alvin yang dibalut dengan perban. Separah itukah lukanya? "tanganmu.." ucapanku terpotong.

"tidak apa-apa!" potonnya masih menatapi proposal kegiatan Osis di hadapannya.

Aku duduk di sampingnya. Mengambil buku kimia yang ada di hadapanku. Dan mulai menatapi rumus-rumus yang berderet-deret di dalamnya. "Vin! Aku..aku.minta..maaf ya?!" kataku masih menatap barisan rumus-rumus kimia itu.

"Ya!" responnya..

Dan keadaan mulai hening. Kami larut dalam diam dalam waktu yang cukup lama.

"Vin kamu gak pusing tiap hari dikerumuni buku-buku eksak dan tugas-tugas osis ini?" tanyaku memecahkan keheningan"

Alvin menutup proposalnya. Menarik nafas panjang dan segera melipat tangannya di dadanya. Membuat aku terpana melihat gayanya "mikirin cinta lebih pusing!" ia sandarkan kepalanya di tubuh pohon itu "indah tapi menyakitkan. Rumit dan tak bisa diselesaikan. Bisa bikin orang nangis gak jelas dan bahkan melukai diri sediri dan orang lain..!"

Aku diam membisu. Jujur ucapan Alvin begitu ngena dalam hatiku. Belum lagi nada dinginya itu membuat aku merasa itu sebuah sindiran untukku.

"Vin! Kamu tahu gak?"

"Gak!"

"kamu itu gak bisa jaga kata-katamu untuk tidak melukai orang lain ya? Katamu pendek tapi membuat orang mati rasa.." jujurku.

"Aku gak peduli! Yang penting kalimatku gak salah"

Aku menarik nafas panjang "apa kamu gak butuh orang lain Vin?" aku menatap wajah Alvin dari samping. Aneh sendiri kenapa Alvin selalu menjauhi orang-orang yang ingin dekat dengannya.

"Aku gak butuh mereka..!"

"Hei..! Kamu itu makhluk sosial, Alvin. Yang membutuhkan orang lain.." protesku berlanjut.

"Tapi, tidak dengan orang yang ingin memanfaatkan kepopularan seseorang untuk menjadi seperti orang yang didekatinya."

Lagi-lagi ucapan Alvin benar-benar menxinggungku. Dan aku akui Alvin sungguh seorang jujur yang tak pandai menjaga perasaan orang lain."kau tak peduli juga bila aku membencimu?"

"tidak!"

"Kalau aku mencintaimu, masih tak peduli?" godak membuat Alvin diam. Dan untuk saat iniaku melihat ada satu rasa kesepian yang terlalu erat melilijt tubuhnya saat pandangan itu teralih padaku.

"Haha.. Aku becanda Alvin! Lagian amit-amit 7 turunan 8 tanjakan deh aku punya pacar kaya kan. Bisa-bisa sebelum aku jadi pacar kamu aku udah beku duluan" candaku mencoba mengalihkan pandangan Alvin yang masih menatapku "udah ah Vin! Jangan lihatin aku kaya gitu dong!"

Alvin berhenti melihatiku. Ia segera mengambil satu persatu bukunya dan membereskannya. Kemudian berdiri dan entah kenapa atau apa yang terjadi tubuh Alvin hamir terjatuh. Untungnya aku yang sudah berdiri sempurna dengan sigap memegang tangannya.

"Kenapa?" tanyaku.

"Tidak apa-apa." jawabnya.

Aku melepaskan genggaman tanganku "kakimu? Hmm..apa karena..hmm.," kataku ragu. Apaa doronganku kemarin tidak hanya melukai tangannya?

"Lupakan itu!" perintahnya. Dengan susah payah ia berjalan meninggalkanku."besok ikut denganku dan Cakka!"katanya tanpa memandangku yang tak mengerti dengan ucapannya.

***


Aku rebahkan tubuhku di sofa villa kali ini. Setelah perjalanan Bandung-Bogor yang melelahkan aku memilih diam di dalam rumah. Sementara Sivia, Cakka, dan Alvin memilih melihat-lihat keadaan sekitar.Aku tidak habis fikir, pagi-pagi buta Sivia sudah membangunkanku, ngetuk-ngetuk pintu kamar tak beraturan, hanya untuk mengajakku pergi ke puncak bersama Cakka dan Alvin.Aku ingat kemarin Alvin sempat mengajakku meski aku benar-benar tak faham apa maksudnya. Dan liburan ke puncak ini sebenarnya hanya untuk merayakan kemenangan tim futsal Cakka dan Alvin. Yang membuatku heran adalah kenapa hanya kita bertiga yang merayakannya?

"Fy! Ayo ikut aku!" Sivia menarik tanganku.
Aku yang benar-benar sedang dikerumuni kelelahan. Pasrah saja mendapat tarikan tangan Sivia tanpa protes sedikitpun dan mengikuti kemana langkahnya.

Aku dan Sivia serta Cakka dan Alvin kini berdiri di hadapan hamparan hijau. Pohon-pohon besar mengelilinginya. Aku menganga hebat. Masih adakah
tempat seindah ini??

"Indahkan Fv?" Sivia memastikan.

"Iya.." jawabku masih tak melepaskan pandanganku.

"Ayo ikut aku Vi...!" Cakka menarik tangan Sivia. Berputar-putar di tengah hamparan hijau. Tertawa bersama, foto-foto bareng. Membuat suhu kota Bogor yang biasan dingin, tiba-tiba panas seolah matahari hanya beberapa centi dari bumi.Aku memandang Alvin yang sedang senderan di dinding rumah sambil ngedate sama biologinya. Tanpa mempedulikan aku. Membuatku tambah sebal.Aku melangkah masuk ke dalam rumah. Sivia dan Cakka selalu misplacing.. Kenapa mereka harus bermesraan di hadapanku? Argh! Dasar bodoh? Jelaslah..merekapun tidak tahu ada orang yang terluka disini.......

***

Mataku terbuka saat serat-serat cahaya menembus masuk ke dalam kamar kecil yang aku dan Sivia tempati. Kulirik tempat tidur Sivia yang sudah rapi tanpa penghuni. Sepulas inikah aku tidur? Bahkan aku tidak tahu kapan Sivia masuk dan keluar kamar.Aku mengangkat tubuhku. Melangkah menuju kamar
mandi dan sudah siap menjalani hari dengan keceriaan baru.

"Ifyy! Ayo kita bersepeda...!" ujar Sivi begitu aku keluar kamar.

"Hah? Kemana? Sama Cakka aja deh..."

"Sama kamu juga!"

Aku mendesah pelan. Sama aku? Untuk apa? Membuat aku cemburu? Ahh ..kau tak mengerti Via..!

"Sama Alvin jugakan?"Entah pengaruh darimana, tiba-tiba saja Alvin ikut nimbrung dalam kalimatku. Biasanya aku tak peduli. Tapi hari ini, aku merasa ingin pergi dengannya, meskipun tak berpengaruh sama sekali jika aku sedang ada di posisi terbakar.

"Alvinnya lgi di taman Fy.. Tadi aku lihat sih lagi baca buku.." Sivia segera menarik tanganku.

"Alvinnya gak diajak?""Lagi belajar. Biarkan saja!"Dan aku mulai mengikuti Sivia. Pasrah aja jika hari ini aku harus dilahap api cemburu lagi.

***

BRAKK!

Terdengar benturan yang cukup keras saat sepeda yang aku tumpangi bersama Sivia menabrak pembatas jalan. Jelas aku kehilangan konsentrasi karena Sivia terus melirik ke belakang untuk memastikan Cakka ada di belakangnya.

Cakka turun dari sepedanya, memastikan Sivia baik-baik saja. Lutut Sivia berdarah karena berhasil tersungkur ke aspal. Sementara aku? Ya sama saja.. Telapak tanganku menjadi korban kali ini.

"Maaf Vii.." aku membantu menenangkan Sivia yang masih meringis tanpa mempedulikan luka di nganku.

"Kamu tidak hati-hati sih Fy!! Kalau tahu akan seperti ini aku tidak akan membiarkan Sivia naik sepeda denganmu..!"

Aku merasa tiba-tiba saja waktu berhenti berputar. Kenapa Cakka menyalahkanku? Padahal sudah jelas sepedaku oleng karena Sivia yang tidak bisa diam. Aku terus menatap Cakka yang masih sibuk membersihkan luka Sivia. Sadarkah ia dengan apa yang ia ucapkan? Mataku mulai berkaca-kaca.

"Maaf!" secepat kilat aku meninggalkan Cakka dan Sivia. Berlari menuju rumah, dan yang ada di fikiranku kali ini adalah pulang ke Bandung.

Aku memandang orang yang kini berdiri tegak di hadapanku saat aku tiba di halaman depan rumah. Orang itu masih terlihat lelah. Keringat mengalir di pelipisnya dan sudah jelas ia sehabis bermain bola.

Tanpa berfikir apapun, aku segera mendekap tubuh itu. Berharap ia bisa menenangkanku kali ini. Tak peduli akan seperti apa responnya. Yang aku inginkan hanya seseorang yang bisa meminjamkan dadanya untukku kali ini.

Perlahan tangan itu, tangan Alvin mendekapku lebih erat. Dan aku merasa tenang. Tubuh Alvin terasa wangi meskipun ia dibalut oleh cairan-cairan keringat.. Untuk pertama kalinya aku merasakan kehangatan yang luar biasa dari tubuh seorang Alvin yang sering aku sebut manusia dingin.

"Aku ingin pulang Vin!" lirihku di sela isakanku.

Alvin melepaskan pelukanku."pulang ya?" tanyanya menegaskan sambil meletakkan jempolnya tetap di bibir mataku dan mulai menyeka cairan-cairan yang tak henti mengalir itu.

Aku mengangguk pelan. Memandang kesungguhan di mata Alvin. Dan untuk kali ini aku merasa ada orang yang peduli padaku. Dan dia adalah orang yang selalu tak kuharapkan kehadirannya, Alvin.

Alvin merangkulku, mengajakku duduk dan aku menuruti itu. Sambil menunggu Alvin yang masuk ke dalam rumah entah untuk apa, aku terus memikirkan kejadian barusan. Bayangan Sivia dan Cakka terus berkelebat hebat dalam fikiranku.

"Sini..!" Alvin meraih tanganku dan mengobati lukaku dengan obat P3K yang baru saja ia ambil.

Sambil menahan perih di tangan dan hati ini, aku memberanikan diri menatap Alvin. Dan entah kenapa air mataku semakin menderas saat melihat wajah oriental, ketua osis di hadapanku kali ini. Inikah Alvin? Benarkah Alvin aku tidak sedang bermimpi melihat adegan ini? Alvin peduli sama orang lain??

"A.. Alvin..!" panggilku.

Alvin memandangku. Tanpa kata sedikitpun, ia segera melangkah masuk, menarik tanganku. Entah sadar atau tidak ia membereskan segala perlengkapannya dan perlengkapanku. "Kita pulang!" ujarnya sambil membawa barang-barang kami menuju mobil swift yang terparkir bebas di depan rumah.

"Kemana Vin?"

Cakka berdiri di hadapan kami dengan satu keresek obat di tangannya. Rupanya mereka sehabis pulang dari klinik. Sementara Sivia memandangku heran.

"Pulang." jawab Alvin.

"Lho.. Kenapa?"

"Ify ingin pulang."

"Kok gitu sih Fy? Masalah barusan gak usah terlalu difikirkanlah!" Sivia menatapku bingung.

Huft! Enak sekali Sivia bilang jangan difikirkan. Sudah jelas aku sakit hati dengan perlakuan mereka. Bukan hanya tadi saja. Tapi dari awal semenjang mereka saling menyayangi. Munafik bukan aku?

"Masalah seperti ini aja diperumit Fy!" celetuk Cakka menatapku "Aku gak suka kamu nangis-nangis kaya gitu. Sudah jelas Sivia yang terluka. Apalagi harus ngajak-ngajak Alvin kaya gitu. Kalau mau pulang, ya pulang aja sendiri!" nada suara Cakka seperti masih kesal dan emosi kepadaku.

Aku menunduk.

Alvin memasukkan barang kami ke dalam mobilnya tanpa bicara sedikitpun.

"Vin! Kamu kenapa sih?"

"Diem deh Kka! Sebenarnya siapa yang memperumit masalah? Ify atau kalian berdua? Dan luka Sivia jauh tidak penting dengan luka Ify! Dan perasaan kamu jauh tidak berguna dengan ini!" Alvin melempar sebuah buku kehadapan Cakka.

Aku memandang buku bersampul hitam putih yang kini tergeletak di bawah kaki Cakka. Dan aku kenal jelas buku itu, buku puisi milikku, puisi-puisi tentang Cakka dan untuk Cakka, yang selama ini tersimpan baik-baik.

Alvin menarik tanganku untuk masuk ke dalam mobil. Dan setelah itu ia mulai menjalankan mobilnya. Meninggalkan Via dan Cakka yang masih berdiri mematung.

Aku tak habis fikir Alvin akan semarah itu pada Cakka. Belum lagi kata-katanya yang sangat panjang, dan satu yang membuatku menganga tak percaya. Darimana Alvin dapatkan buku itu?

"Buku itu..." kataku menggantung.

"Kau terlalu kuat Fy!!" Alvin memandangku sekilas kemudian fokus pada nyetirnya. Meskipun masih memasang tampang dingin tapi kali ini aku tak bisa memungkiri kalau aku merasakan kehangatan berada di sampingnya.

***

Sudah hampir setengah jam aku berdiri disini, diantara beribu-ribu kesunyian dan kegelapan. Hanya terang bulan yang sedikit memberi cahaya untukku tetap menatap wajah orang yang kini ada di hadapanku.

Orang yang menemaniku selama beberapa bulan ini, orang yang pernah aku benci, orang yang sering aku ejek dengan sebutan pangeran es, kini nampak di hadapanku, di depan gerbang rumahku yang menjadi latar aksi kami berdua.

Setelah kejadian di puncak dulu. Aku dan Alvin memang semakin dekat meski hubungan aku, Cakka dan Sivia tidak begitu baik, aku sendiri tidak tahu apa alasan yang jelas Cakka menjauhiku, tapi yang pasti aku dan dia sudah bermaafan saat itu. Dan aku tidak terlalu mempedulikan itu, karena aku merasa Alvin lebih segalanya dari apapun. Dialah yang selalu ada di sampingku saat itu. Begitkpun dengan aku. Setiap hari aku menjadi orang yang tidak pernah absen menemaninya latihan futsal, menunggunya berjam-jam saat rapat osis, aku orang yang paling setia di sampingnya ketika ia belajar dengan buku-bukunya, suarakulah yang paling keras meneriaki namanya diantara puluhan penonton saat ia bertanding futsal. Aku dan hanya aku. Meski kami hanya sebatas teman disini.

Dan kali ini..

Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Tidak ada satupun kata yang terucap setengah jam ini. Hanya diam yang menjadi teman, hanya keheningan yang menjadi musik pengiring. Semuanya larut dalam kebisuan!

Sebelum akhirnya, aku merasakan kehangatan. Alvin memelukku erat, dan aku masih bergeming. Tak mengerti apa yang ada di fikiran Alvin?

Masih tanpa kata, Alvin terus memelukku, membuatku bisa mencium wangi tubuh itu. Merasakan setiap alunan detak jantungnya. Merasakan kehangatan dan ketenangan yang sungguh-sungguh nyata.

"Vin!" panggilku "Hujan!" aku dapat melihat satu persatu air itu turun membsahi tempat yang sedang kupijaki. Dan lama-lama ia mulai membasahi tubuhku, ikut memelukku bersama Alvin.

"Biarkan saja! Biarkan ia menjadi saksi adegan kita kali ini!" ucap Alvin masih memelukku.

Dan aku hanya diam. Sampai Alvin melepaskan pelukannya. Menggantinya dengan menatap mataku.

"Dengarkan aku Ify! Aku mencintaimu.."

Aku hanya membisu. Tak mampu berkata apapun.

"Aku akan menjaga namamu dalam hati ini meski aku harus pergi meninggalkanmu.."

Tunggu! Meninggalkanku? Apa maksudnya? Aku tahu sudah saatnya aku dan dia berpisah karena putih-abu sudah terlepas dari tubuh kami. Tapi, bukan berarti ia harus meninggalkanku kan? Bukankah ia bisa satu universitas denganku?

"Aku dapat beasiswa melanjutkan sekolah ke Paris Fy! Hebatkan aku?!"

Dan hatiku mencelos. Paris? Jauh sekali. Hebat kau Alvin! Sangat hebat! Membuatku larut dalam rasa takut kehilangan adalah hal terhebat yang pernah kau lakukan.

Tanpa bicara aku memeluk Alvin. Perlahan air mataku turun tercampur dengan air hujan. Aku tak peduli, yang aku inginkan adalah seperti ini dan terus seperti ini. Sebelum jarak menghalangiku untuk mendekap tubuhnya sebelum ia tak lagi memberi kehangatan kepadaku.

"Aku mencintaimu Alvin.." lirihku.

***

Flashbackend

"Delapan tahun bukan waktu yang sebentar lho Fy.." Cakka memecahkan keheningan dan membuatku mengalihkan pandanganku ke arah lain.

Taman kampus kali ini cukup sepi, hanya beberapa mahasiswa yang berlalu lalang disana dan tak ikut campur dengan urusan aku dan Cakka.

"Maaf ya Fy? Aku tak menyadari itu.."

Aku tersenyum "Ya.. Gak apa-apalah Kka! Hehe maaf juga ya aku udah jadiin kamu bahan insfirasi puisiku..!"

"Maaf juga karena aku tanpa izin mengirim tulisan kamu sama penerbit. Tapi masih pakai nama kamu kok Fy! Kenapa gak bilang Fy kamu suka nulis?! Tulisannya keren lho.." puji Cakka.

Aku hanya terkekeh mendengar itu.

"O..ya maaf setelah kejadian waktu di Bogor aku sempet menjauhi kamu. Sebenarnya aku hanya menghargai Alvin yang ternyata mencintai kamu sejak saat pertama kali bertemu. Itu lho Fy saat aku kenalin kamu ke dia. Lagian Alvin minta aku untuk tidak memberi harapan kosong lagi sama kamu.."

Aku hanya tersenyum mendengar penjelasan Cakka. Membiarkan otakku flashback ke masa perkenalan dulu. Mungkin karena dinginnya Alvin aku tak sadar dengan perasaannya padaku.

"Sivia gimama Kka?"

"Udah dua bulan ini aku lost kontek sama dia"

"Oh.." responku singkat

Dan keadaan hening tuk sejenak.

"Hmm.. Fy! Bolehkan aku menempati posisi Alvin kali ini?"

Aku diam. Kaget dengan ucapn Cakka.

"Aku mencintaimu Fy..!"

Aku memandang Cakka serius. Delapan tahun aku menunggu kata itu. Dan itu harus terucap saat aku sudah menyimpan nama Alvin dalam hatiku.

"Kau boleh menempati posisi Alvin, Kka! Alvin sebagai sahabatku. Tidak Alvin yang ada di dalam hatiku." aku berdiri dari dudukku. Dan tekadku untuk menolak Cakka adalah hal yang benar. Semoga. "Aku duluan ya Kka!" pamitku sambil berlari meninggalkan Cakka.

***

Aku terpaku menatap satu buku yang kini ada di hadapanku. Perlahan aku mengamabil buku bersampul hitam putih yang berjajar di rak toko buku itu. Percis warna buku puisiku.

Tercantum manis namaku disana. Di bawah judul "Ketika Puisi Berbicara"
Aku tersenyum. Aku tahu Cakka yang membuatnya seperti ini. Tapi otakku ditarik menuju satu yang lebih penting terhadap buku ini.

"Alvin.. Jika kau tak mengambil bukuku yang waktu itu terlempar jauh saat kita tabrakan di lorong sekolah dan tidak memberikannya pada Cakka. Puisi-puisi ini tidak akan terpampang disini, di rak-rak toko buku ini."

Aku keluar dari toko buku setelah berjalan ke arah kasir. Lalu dengan senyum yang benar-benar merekah dari sudut bibirku, aku berlari-lari kecil. Memeluk erat buku itu di dadaku.

Aku tahu puisi-puisi di dalamnya untuk Cakka. Tapi, buku ini adalah wujud cintaku kepada Alvin.

Aku terus berlari, berlari dan berlari, berharap langkah ini mengajakku ke Paris. Menemui Alvin dan hanya Alvin.

Untuk yang jauh disana..! Aku merindukanmu. Alvin.

0 komentar:

Posting Komentar

Total Tayangan Halaman

Yuukk follow me!

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto Saya
Nae
bandung, jawa barat, Indonesia
Lihat profil lengkapku

i crazy with this song